Setelah Teh Aini pulang ke rumahnya, aku kembali lagi ke rumah bersama kaka dan adikku karena di luar langit mulai gelap pertanda malam akan segera datang, di tambah hujan sedikit demi sedikit mulai turun ke bumi. Kami sengaja menutup warung kecil kami, karena kami ingin lebih meluangkan waktu untuk berkumpul bersama seluruh keluarga kami. Mumpung sekarang semuanya sedang berkumpul di rumah.
A Rasya sekarang memang sudah lulus dari kuliahnya, tapi walaupun sudah lulus, ia belum menjadi dokter seutuhnya. Ia masih menjadi Koas/dokter muda. Yang artinya Ia hanya magang di rumah sakitnya sekarang untuk mendapatkan gelar dokter nantinya. A Rasya magang di rumah sakit yang ada di kota Garut, kalau tidak salah rumah sakit itu juga tempat si cowok es batu itu bekerja. Ehh kenapa jadi keingetan cowok es batu. Ah sudahlah tak penting, lagi pula tak sehat juga memikirkan dia, karena jika aku teringat dia pun aku takut kesehatan jantungku malah terganggu karena detakannya yang semakin cepat. Aaahh memang laki-laki itu susah di lupakan.
Setelah melaksanakan kewajiban kami, kami berkumpul bersama di ruang tengah rumah sederhana kami, dengan Ayah yang berada di atas kursi roda. Kami bercerita apa saja yang ada di kepala kami. Tentang pekerjaan apasaja yang di lakukan A Rasya selama magangnya. Apa saja yang di lakukan olehku semasa aku kuliah dengan berjauhan dengan keluargaku. Dengan sesekali mendengar ocehan Ilham yang bertanya apa yang tidak di mengertinya. Yang terkadang kami pun bingung menjawab dengan kata yang akan mudah dipahaminya
Ku fikir inilah saat yang tepat untukku untuk meminta izin kepada semua keluargaku tentang apa yang sudah ku niatkan, karena bagiku segalanya harus dengan restu orang tua, agar semuanya berjalan lancar, dan tentunya di Ridhai Allah.
"Yah, Bu, A. Dewi mau ngomong sesuatu sama kalian.." suasanapun berubah jadi serius karena sekarang aku tengah menampakkan ekspresi serius dari wajah ku
"Kenapa teh?" Ibu bertanya
"emm... Bu, Yah, kalian setuju nggak kalo Dewi hijrah" aku berusaha mengutarakan yang selama ini mengganjal di fikiranku
"mau hijrah kemana kamu dek? kuliah aja belum lulus kamu?" Kakaku menimpali
"Teteh nggak oleh pelgii..." Ilham langsung menggelayut manja pada lenganku, dan ku usap dengan lembut kepalanya, kemudian aku menggelengkan kepala sebagai jawaban.
"Isshh Aa dengerin dulu ke adeknya mau ngomong" Ibu melerai
"Bukan A. Maksudnya Dewi tuh hijrah ke arah yang lebih baik lagi" kemudian aku besi melihat ada rona kebahagiaan yang terpancar dari wajah kedua orang tuaku, kemudian tersenyum hangat kepadaku
"Kamu yakin dek? Kamu nggak main-main kan? Kalo begitu harus serius loh, dan nggak boleh setengah-setengah" Kaka ku lagi yang menjawab..
"InsyaAllah serius A.. makannya Dewi mau ngomong sama Ayah, Ibu, sama Aa juga biar semua tenang gitu loh ngejalaninnya, kan udah dapet Ridha"
"Alhamdulillah teh, akhirnya kamu ada niatan baik ke arah situ aja Ayah sama Ibu sangat senang. Ayah dan Ibu juga dari dulu memang sudah menganjurkan kamu, tapi untuk pelaksanaannya memang itu semua Ayah sama Ibu kembalikan sama kamu, kami tidak mau memaksa" Ayah memberi jawaban dengan sangat lembut
Ku hampiri ayahku dan ku peluk tubuh senja nya. Ku ucapkan rasa terima kasihku. Lalu ku pandangi Ibuku yang sekarang tengah menampakkan expresi wajah yang tidak terbaca. Apa beliau tidak senang melihat anaknya ada niatan untuk berhijrah? Bukannya Ibu pernah menyuruhku untuk mengenakan pakaian sesuai syari'at? Tapi aku tak mau ambil pusing. Mungkin Ibu terlalu bahagia sehingga bingung arus berekspresi seperti apa.
Setelah jarum jam sudah menunjukan pukul 22.00, Ibu menyuruh kami semua untuk masuk ke kamar masing-masing. Tapi begitu aku melangkah menuju kamar, aku merasakan tanganku di pegangi tangan kecil mengikutiku ke kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrah dan Cinta yang harus di relakan
SpiritualDewi seorang gadis biasa yang pernah berbuat dosa dengan menjalani "pacaran" hingga akhirnya dia tersadar dan mungkin mendapat hidayah Allah yang membuat dirinya harus memilih antara "cinta" atau "hijrah"