Di suatu tempat, aku kehilangan sebagian dari diriku
.
.
.
.
."Nara ... ada seseorang mencarimu."
Aktifitas mengelap meja kafe oleh Nara terhenti begitu mendapat interupsi dari sang manajer. Tak perlu bertanya, Nara tau siapa seseorang itu.
Sama seperti seminggu yang lalu, Devian duduk di meja bagian kiri sudut kafe. Datang di jam 10 pagi untuk Menghindari keramaian agar nantinya bebas mencacimaki Nara. Bukannya Nara bodoh, tidak menghindari Devian. Hanya saja, laki-laki yang menggunakan jaket untuk menutupi seragamnya itu sangat pandai mengancam siapapun termasuk manajer di kafe tempat Nara bekerja.
Devian menatap Nara yang berdiri tak nyaman di depannya. Ia benci menyadari Nara bisa hidup tanpa kesedihan di wajahnya meskipun ia tidak bisa bersekolah lagi. Sedangkan dirinya harus dihantui perasaan takut. Takut jika sewaktu-waktu rahasianya terbongkar.
Meskipun sudah beberapa bulan berlalu setelah Nara keluar dari sekolah, Devian tetap tidak bisa tenang. Ia terus mencari tau keberadaan Nara untuk memastikan apakah perempuan itu menggugurkan bayinya atau tidak.
Kau mengakui bayi dikandungan Nara sebagai bayimu Dev?
"Ada apa?" Tanya Nara ketus
Sejujurnya Devian juga tidak tau kenapa. Ia kabur dari sekolah hanya untuk menemui seorang wanita yang selalu ingin ia marahi. Terlebih saat melihat pipi Nara yang terlihat lebih berisi dari seminggu yang lalu, saat pertama kali ia datang ke tempat ini.
"Duduk!" Perintah mutlak tanpa basa basi.
"Apa yang kau inginkan? Ini bukan tempat anak sekolah membolos."
Devian mendengus mendengar sindiran itu.
"Kubilang, duduk. Apa kau tuli?"Nara menatap Devian tegas, "tidak. Jika kau hanya ingin mencaciku seperti waktu itu lebih baik kau keluar."
"Aku akan terus datang ke sini dan mencacimu, jika kau masih mempertahankan bayi itu"
Nara memejamkan mata mendengar ancaman Devian. Bagaimana mungkin? Usia kandungannya sudah memasuki bulan ketujuh. Dan Devian masih ingin Nara mengaborsi bayinya?
"Apa yang kau takutkan jika bayi itu tidak di aborsi?"
Itu bukan suara Nara apalagi Devian.
Mereka berdua menoleh pada seorang lelaki tua dengan tampilan formal berdiri di samping meja mereka.
"Kakek?"
*****
Nara tidak tau lagi harus bagaimana. Ia hanya ingin keluar dari rumah ini. Pulang ke rumah kecilnya memulai hidup dengan bayi yang beberapa bulan lagi akan lahir.
Tapi kini, di bawah tatapan tajam kedua orangtua, dan Kakek Devian ia tidak di perkenankan untuk keluar dari rumah keluarga Arthur."Saya mohon. Saya tidak akan bilang pada siapapun siapa Ayah dari bayi saya. Anda bisa membuat surat kesepakatan. Dan jika saya melanggar saya siap di penjarakan, asal saya boleh kembali kerumah saya."
Nara tau alasan ia tidak boleh pergi karena keluarga Devian khawatir ia akan menyebarkan berita pada orang-orang bahwa Devian punya anak di luar nikah. Keluarga Devian tentu tidak ingin nama keluarganya tercoreng aib sedikitpun.
Beralih menatap Devian yang juga ada di sana. Tanpa kata Nara berharap Devian mengerti bahwa Nara sungguh-sungguh dengan ucapannya. Tapi orang yang ia tatap hanya menunjukan ekspresi dingin. Membuat hatinya nyeri.
Salah apa ia sampai di perlakukan seperti ini?
Kenapa pula Devian begitu membenci dirinya. Jika sifat tidak perduli Devian padanya, Nara bisa memaklumi.
Tapi membenci? Disini Nara korbannya. Ia yang banyak merugi. Kehilangan kehormatan yang ia jaga, sekolahnya putus di tengah jalan karena hamil di luar nikah. Lalu, kenapa saat ia ingin pergi semua melarang dengan alasan yang tidak masuk akal. Bukankah jika ia pergi Devian bisa lepas dari segala tanggung jawabnya?
"Kau tetap akan tinggal di sini sampai melahirkan," titah kakek Devian, "dan suka tidak suka kalian harus menikah, setelah anak itu lahir." Devian dan Nara di tatap bergantian.
Rahang Devian mengeras. Dia benci keputusan ini, tapi tidak dapat melawan saat melihat tatapan sang ayah yang seakan setuju dengan kata sang kakek.
Menunduk takut, "saya tidak bisa, maaf. Pernikahan bukan hal main-main, saya tidak bisa menikah dengan keadaan terpaksa dan sebagai bentuk tanggung jawab semata." Alasan mudahnya, Nara tidak mau menikah tanpa cinta. Tapi alasan itu tidak ia sampaikan secara langsung.
"Saya tidak bilang pernikahan ini main-main. Kalian akan menikah sungguhan, agar anak yang lahir dari rahimmu bisa di akui di keluarga Arthur ini." Pria tua itu terlihat sangat santai, berbeda dengan wajah ibu Devian.
"Sudahlah Ayah. Wanita ini pasti hanya berpura-pura menolak. Aslinya, pasti di hatinya sedang bergembira karena bisa masuk kedalam keluarga kita dengan cara picik!" Kim Sena menatap tajam pada Nara yang hanya bisa menggeleng lemah, di tuduh seperti penjahat.
Diam-diam Nara mengatur pernafasannya setelah kakek Devian pergi meninggalkan ruang tamu di susul Devian dan kedua orangtuanya. Sebelum benar-benar pergi Kim Sena mengeluarkan kata-kata sinis, "jangan besar kepala hanya karena kau mengandung keturunan Arthur."
Jika bisa memilih, Nara juga tidak ingin ada diposisi ini. Mengandung di usia muda tanpa suami. Di gunjing oleh tetangga rumah dan di jauhi teman di kafe tempatnya bekerja. Sungguh, Nara tidak ingin semua itu.
*****
"Kau benar-benar meniduri wanita itu?"
Tidak ada jawaban dari mulut Devian. Ia sibuk memainkan posel sambil berbaring di tempat tidur.
"Devian!" Bentak Kim Sena.
"Iya." Devian menjawab singkat. Terlalu malas untuk mengeluarkan suara.
"Bagaimana mungkin?" Kim Sena duduk di sisi tempat tidur. "Kenapa harus jalang itu yang mengandung cucuku?" Tanya Kim Sena linglung.
Dilihat dari penampilannya, Nara tentu tidak masuk ke dalam kategori menantu impiannya. Kulit Nara tidak seputih wanita Korea kebanyakan. Wajahnya tidak cantik. Penampilan sangat biasa mencerminkan bahwa dia bukan dari keluarga kaya dan terpandang.
"Apa kau yakin itu anakmu Dev? Bisa saja ia tidur dengan orang lain dan mengaku-ngaku."
Devian bangkit dari posisi berbaring, "Ibu tidak mau dia menikah denganku, kan? Kalau begitu, lebih baik Ibu bilang pada Kakek untuk membatalkan rencananya."
Kim Sena menggeleng, "tidak mungkin Dev, kau lupa? Kakekmu percaya bahwa Cucunya yang pertama memiliki anak adalah orang tepat yang akan diberi tanggung jawab perusahaan. Dan kau sebentar lagi memiliki anak."
Devian menghela nafas frustasi. Kakeknya memang benar-benar teguh memegang kepercayaan dari leluhur. Tidak berhubungan dengan dokter meskipun sakit, memberikan kepercayaan bisnis pada keturunan laki-laki yang akan memiliki anak, dan yang paling aneh kakek Devian percaya bahwa anak pertama yang lahir dari keturunannya adalah laki-laki.
Sejauh ini memang terbukti. Anak pertama dan kedua kakeknya adalah laki-laki yang tak lain adalah kakak dari ibu Devian.
Semua paman Devian memiliki anak pertama laki-laki. Sedangkan Devian adalah anak tunggal di keluarganya.
.
.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRUST (Complete)
General Fiction[Private acak] . . Pindah ke Dreame/Innovel (@RatuQi) Tentang permainan takdir yang membawa luka untuk Shin Nara. Tentang Devian Arthur yang mencoba untuk mengobati luka seseorang. Tentang sebuah kepercayaan yang kembali hadir diantara keterpurukan...