Bagian-16

13.6K 1.2K 104
                                    


-----****-----

Jangan membandingkan hidup kita dengan orang lain karena hidup kita adalah perjalanan bukan pertandingan

            ~mikrofon pelunas utang
.
.
.
.


.

"Hwan?"

"Hai," Hwan tersenyum begitu mendapati teman kerjanya, Soo Mi.

"Kau sudah mau pulang?" Gadis itu bertanya heran saat melihat Hwan telah berganti pakaian kerja dengan baju biasa.

"Iya, semua tugasku sudah selesai," jawab Hwan sambil membereskan loker miliknya.

Soo Mi memasukan kunci ke loker miliknya yang bersebelahan dengan milik Hwan. "Kau akan menemani adikmu lagi?"

"Tidak, hari ini adikku sudah diperbolehkan pulang," jawab Hwan senang. Nara koma selama dua hari, dan setelah sadar dokter menganjurkan untuk menjalani pemulihan selama tiga hari.

Soo Mi tersenyum mendengar kabar baik dari Hwan, lebih dari itu, Soo Mi bisa bernafas lega sekarang. Selama beberapa hari Hwan menemani adik perempuannya Soo Mi tidak bisa tenang karena Hwan juga menjadi akrab dengan seorang suster cantik yang bertugas merawat adik Hwan.

"Apa ia akan tinggal bersamamu, setelah ini?"

Hwan tersenyum tipis. Ia tidak tau apakah Nara akan bersedia tinggal bersamanya atau memilih hidup sendiri. Yang jelas Hwan tidak akan membiarkan Nara kembali ke rumah keluarga kaya yang sebelumnya menyembunyikan Nara.

Ia belum mendengar cerita keseluruhan dari Nara tentang keluarga yang beberapa bulan terkhir menyembunyikan adiknya tersebut, Hwan tidak ingin memaksa Nara untuk menceritakannya. Cukup tau bahwa keluarga kaya itu adalah keluarga dari laki-laki muda yang sempat bertransaksi dengannya.

"Aku masih belum tau," jawab Hwan pelan. Soo Mi menepuk lengan Hwan pelan untuk memberi semangat, "tak apa, adikmu pasti memaafkanmu." Sedikit banyak Soo Mi memang mengetahui cerita Hwan.

"Aku harap begitu. Terimakasih Soo Mi, kau temanku yang terbaik."

Teman?
Soo Mi tersenyum kecut saat Hwan pamit pergi. Meskipun bisa dibilang sangat dekat dan saling berbagi perhatian, ternyata statusnya belum berubah.

******

"Nara?"

Hwan memasuki kamar rawat Nara dan mendapati Nara yang tertidur di ranjang pasien. Beberapa baju yang dipinjamkan Soo Mi telah terlipat rapi dimeja yang tak jauh dari Nara.

Hwan berjalan mendekat, tangannya terulur untuk menghapus bulir air mata yang turun dari sudut mata adiknya. Beberapa hari menjaga Nara membuat Hwan tau, hidup adiknya lebih dari sekedar sulit ia bahkan tidak tau bagaimana Nara masih bisa bertahan dalam kesadaran sampai saat ini. Terkadang, saat tengah malam Nara terjaga dari tidurnya dan terisak pelan, saat ditanya Nara akan bilang bahwa ia tidak ingin dipisahkan dengan anak yang telah ia lahirkan.

Tidak ada yang tau seberapa sakit yang Hwan tanggung saat mendengar permintaan sederhana Nara. Ia ingin sekali membalas keluarga laki-laki yang telah membuat adiknya seperti ini, namun lagi-lagi tidak ada yang bisa ia lakukan. Dirinyalah yang menjerumuskan Nara pada jurang kehancuran. Melupakan semua janjinya pada Nara. Ia bersalah dan sangat menyesali itu.

Beban ini ... entah sampai kapan akan ia tanggung.

"Kenapa Ibu meninggalkan kita, kak?"

Hwan kecil menatap sendu pada adik perempuannya, "karena Ibu tidak menginginkan kita."

"Tapi aku ingin bersama Ibu ..." Nara kecil mulai merengek. Baru satu hari mereka tinggal di panti asuhan.

"Dengar Nara, sejak Ibu meninggalkan kita di depan bangunan ini, sejak saat itu juga Ibu tidak ingin bersama kita. Jangan pernah berharap Ibu akan datang dan menjemput kita."

Isakan Nara terdengar. Tidak bisa menerima kenyataan bahwa ibu yang ia sayangi meninggalkan mereka. Usianya baru 4 tahun, lebih muda 6 tahun dari kakaknya.

Hwan menarik Nara dan memeluknya sayang. "Jangan menangis, aku akan selalu bersamamu, aku akan menjagamu selamanya."

*****

"Ngghh ..."

Hwan tersenyum melihat Nara telah bangun dari tidurnya.

"Kenapa gelap?" Nara bertanya linglung saat melihat keluar jendela langit sudah berwarna Hitam. Seingatnya dokter telah memperbolehkan ia keluar dari rumah sakit saat sore hari, tapi kenapa sampai malam ia masih disini?

"Kau tertidur sejak sore tadi," Hwan menjelaskan santai seakan menunggu Nara yang tertidur selama tiga jam lebih tidaklah berarti.

Mata Nara melebar, tidak sadar bahawa ia tertidur cukup lama setelah memberi asi untuk bayi mungilnya dengan susah payah.

"Aku akan memanggil suster Hyorin untuk membawa bayimu kemari." Hwan hendak berdiri dari tempat duduknya sebelum tangan Nara menahannya.
"Kita akan pulang kemana kak? A-aku tidak mau mereka mengambil anakku."

Hwan mengelus kepala Nara, " mereka tidak akan pernah bisa melakukannya," karena aku akan melindungi kalian. Kata-kata itu hanya bisa Hwan ucapkan dalam hati, ia tidak ingin mengumbar janji yang akhirnya hanya dapat ia ingkari.

Setelah ini, ia akan berusaha sekuat tenaga untuk merealisasikan semua janjinya pada Nara.

*****

Dalam diam Devian meneliti kamar itu. Sudah hampir satu minggu kamar ini tak ditempati. Semua keluarga Arthur seakan melupakan bahwa seseorang yang pernah tiggal dirumah mereka masih berada dirumah sakit. Sibuk memikirkan lanjutan cerita untuk Nara dan bayinya.

Di dalam kamar itu terdapat sebuah lemari yang masih terisi oleh baju Nara. Perlahan Devian merebahkan diri diatas tempat tidur. Menghirup bau wangi dari bantal dan juga seprai kasur tempat Nara tidur. Wangi yang diam-diam mulai Devian sukai sejak bertemu Nara. Saat itu, ia hanya berbohong dengan bilang bahwa ia tidak menyukai bau tubuh Nara.

Devian hanya tidak mau mengakui bahwa wangi dari tubuh Nara membuatnya ingin memeluk Nara. Egonya terlalu tinggi untuk mengatakan itu.

Pikiran Devian melayang mengingat keadaan Nara saat bersimbah darah di lantai kamar ini. Perempuan itu terus merintih kesakitan bahkan saat tiba dirumah sakit. Ia tidak mengerti jalan pikiran perempuan itu, mempertahankan bayi yang jelas-jelas tidak akan diakui olehnya.

Kenapa?

Jika saja Nara mengikuti sarannya untuk aborsi, tentu perempuan itu tidak akan seperti ini. Ia masih bisa bersekolah dan tidak perlu merasakan sakit karena melahirkan bayi itu.

Devian lalu bangkit berjalan menuju jendela kamar yang gordennya melambai diterpa angin. Ia mengernyit begitu melihat sudut jendela sebelah kiri kacanya pecah membentuk lingkaran yang cukup besar, sedangkan jendela sebelah kanan sudah tidak bisa ditutup rapat apalagi dikunci. Sebab inilah yang membuat angin dengan leluasa membelai gorden kamar ini.

Kenapa Nara tidak pernah bilang?

Bukannya jika malam hari datang angin yang masuk tidak baik untuk wanita hamil?

Ya Tuhan ... berapa banyak derita yang perempuan itu alami selama tinggal dirumah ini?
.
.
.
.
.

Selamat tahun baru^^

TRUST (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang