4. AyT-Selamat Tinggal

114 8 2
                                    

"Kamu yakin mau berangkat sekarang sayang?" tanya Bunda memastikan.

Aku mengangguk. "Iya Bunda." jawabku pasti.

Bunda menghela nafas. "Yaudah. Bunda cuma bisa nganter sampe sini. Maaf ya. Kalo kamu udah sampe di Stasiun Tasik langsung telpon Ustadz Haris ya sayang" ujar Bunda padaku.

Aku kembali mengangguk. Lalu kupeluk erat tubuh Bunda. "Maafin aku ya Bunda. Aku malah ninggalin Bunda disini sendirian" ujarku. Tak kusangka aku malah menangis.

Bunda mengusap lembut punggungku. "Apapun keputusan kamu. Bunda akan selalu mendukungnya. Lagipula disini Bunda gak sendirian. Nanti bakalan ditemenin Bu Ratih ko sayang. Kamu jaga diri disana ya. Apapun yang terjadi Bunda akan selalu ada disini" ujar Bunda seraya menunjuk tepat
kearah jantungku berada.

Tangisanku semakin menjadi. Semakin erat kupeluk tubuh Bunda.

"Udah udah jangan nangis. Ingusnya keluar tuh" ujar seseorang yang suaranya begitu aku kenali. Siapa lagi kalau bukan si jahil. Rangga Purnama Rhamadan. Cowok tengil yang sangat aku sayangi.

Entah kebetulan atau apa. Rangga bilang dia tak sengaja melihatku setelah mengantar sepupunya. Meski awalnya ragu saat melihatku tapi pada akhirnya dia menghampiriku. Dan menyapaku.

Awalnya dia marah karena aku tak memberitahunya tentang kepergianku ini. Tapi setelah aku menjelaskan semuanya pada Rangga.

Ya, semuanya. Bahkan tentang Dimas pun aku ceritakan padanya.

Sebenarnya aku enggan untuk menceritakan rahasiaku pada orang lain selain Bunda. Tapi, setelah paksaan dari Rangga. Akhirnya aku menjelaskan sejelas-jelasnya pada Rangga.

Rangga marah. Dia begitu tak terima terutama atas perlakuan Dimas padaku. Namun aku terus memintanya berjanji untuk tetap bersikap seperti biasa. Aku juga meminta dia untuk berjanji merahasiakan keberadaanku pada semuanya. Meski enggan. Rangga menyetujuinya.

"Nih usap ingus kamu. Jijik tau"

Suara Rangga menyentakku kembali dari lamunan. Kuterima tissue dari Rangga. Membersihkan sisa airmata.

Kulihat Bunda mulai beranjak.

"Bunda mau kemana?" tanyaku.

"Ketoilet dulu sayang. Nak Rangga, titip Nadia bentar ya." Jawab Bunda.

"Siap Mamah mertua" ujar Rangga seraya melakukan sikap hormat layaknya pemimpin upacara pada pembina. Bunda dan aku hanya terkekeh melihat tingkah konyol Rangga.

"Aku gak mau pesen apa-apa sama kamu" ujar Rangga tiba-tiba.

Aku menatap Rangga. "Aku gak bakalan ngasih nasihat ini itu ke kamu. Karena aku yakin kamu bisa jaga diri kamu baik-baik disana. Kamu udah dewasa. Gak perlu lagi di dikte harus ini dan itu" lanjutnya.

"Aku juga gak ngasih nasihat ke kamu karena aku yakin ini bukan perpisahan. Aku bakalan jengukin kamu sesering yang aku bisa" ujar Rangga lagi.

Aku tersenyum. Air mataku lagi-lagi mengalir. Akhir-akhir ini aku berubah jadi cengeng.

"Makasih Ga" ujarku disela isakan.

Rangga hanya menepuk-nepuk kecil kepalaku.

"Udah jangan nangis. Aku paling gak tahan liat air mata kamu Nad" Rangga berujar lirih.

Suaranya bergetar. Lalu kudongakkan kepalaku dan seketika itu aku tersentak melihat air mata yang menggenang dipelupuk mata Rangga.

"Liat kan aku jadi ikutan nangis" ujarnya pelan. Dia membawaku kedalam dekapannya.

"Aku tuh sayang banget sama kamu Nad. Aku gak tau kenapa, aku selalu gak tahan tiap liat kamu nangis. Hati aku nyesek. Kamu itu salah satu sumber kekuatan aku Nad. Kalau kamu nangis aku juga bakalan jadi lemah" ujar Rangga lagi.

Isakanku makin menjadi. Kata-kata Rangga begitu menyejukkan sekaligus menyesakkan. Baru kali ini ada orang (selain keluargaku) yang menganggap aku begitu berarti. Bahkan Dimas tak pernah sekalipun berucap demikian.

"Maafin aku Ga. Aku bakalan berusaha sebisa mungkin agar gak menangis lagi" ucapku disela isakan.

Rangga mengangguk. Dia melepaskan pelukannya. Mengusap air mataku.

"Tadi kan Bunda minta kamu buat jagain Nadia. Ditinggal bentar Nadia-nya udah kamu bikin nangis Ga. Kamu tega juga ternyata ya" suara Bunda membuat kami menoleh.

Rangga mengusap air matanya sendiri lalu tersenyum lebar.

Tak berselang lama pemberitahuan kereta tujuanku akan tiba. Setelah berpamitan lagi pada Bunda dan Rangga aku berjalan menuju jalur dimana keretaku akan berhenti.

Sekali lagi aku menoleh kebelakang. Tersenyum sambil melambaikan tanganku pada mereka yang begitu aku sayangi.

Aku berbalik, masuk kekereta. Berbekal tekad yang kuat. Kuusap sisa air mataku. Aku menyayangi mereka. Karena itu aku takkan menjadi lemah lagi. Akan kubuang kanvas yang telah rusak ini. Lalu kuganti. Agar aku bisa mengukir garis yang baru.

'terima kasih Bunda, Rangga. Aku menyayangi kalian' lirihku dalam hati.

***

TBC

Special for Dinichan334 and AyuSriMullyani... 😘😘

See you in the next chapter.
Budayakan Vote and Comment ya guys. Dont be a silent reader

Thanks 😘😘

Asa Yang TertinggalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang