11. AyT-Masalalu Dimas dan Nadia

105 8 0
                                    

Setelah perbincanganku dengan Kak Nathan malam itu. Esoknya aku menyempatkan untuk meminta pendapat pada Umi Aisyah
(Istru Ustadz Haris).

Dan beliau akan membantuku melakukan shalat istiharah. Alhamdulillah. Setidaknya kini aku tak kebingungan lagi.

Begitu selesai dari pesantren aku kembali ke kedai. Kemarin beberapa pekerjaan terbengkalai begitu saja. memikirkan hal itu.

Aku jadi teringat dengan Dimas.

Sengaja aku tak menceritakan kedatangan Dimas pada Riki maupun Rangga. Aku takut mereka akan marah dan berkelahi. Jadi kuputuskan untuk merahasiakannya.

Toh kemarin mungkin Dimas hanya sedang banyak masalah hingga dia bersikap aneh seperti itu.

Panas terik matahari menyengat kulit yang tertutupi kain.

Hari ini Riki tak bisa menjemputku. Dia bilang akan mengerjakan tugas kelompoknya. Jadi aku berjalan menuju jalan utama yang biasa dilalui angkutan umum. Saat sedang menunggu, sebuah mobil avanza silver menepi dan berhenti dihadapanku.

Sipengendara yang ternyata adalah Dimas keluar dari mobil dan menghampiriku.

“Kamu mau kemana Nad?” tanyanya.

“Aku mau ke kedai” jawabku sebiasa mungkin.

“Kalo gitu biar aku anter!” tawar Dimas.

Aku menggeleng. “Gak usah Di.” Tolakku sehalus mungkin.

“Aku cuma kawatir aja. Di angkot kan panas.”

Aku menatap tepat kearah mata Dimas. Sorot angkuh Dimas tak kutemui lagi disana, yang ada hanya tatapan sendu.

Hal itu sukses membuat dadaku kembali sesak. Setiap aku bertemu Dimas. Hatiku selalu perih rasanya. Nafasku seolah direnggut paksa oleh sosoknya. Aku tak tau kenapa.

Apakah aku masih menyimpan perasaan pada Dimas? Bukankah aku sudah mengikhlaskan Dimas?

Lalu kenapa aku masih merasa seperti ini?

Aku berdesah pelan. “Aku gak tau apa yang coba kamu lakuin sekarang Di. Kalau kamu cuma mau minta maaf dari aku. Aku udah maafin kamu. Kamu gak usah ngelakuin hal-hal yang bisa buat orang lain terutama Jessica bisa salah paham sama aku. Aku mohon sama kamu Di” pintaku.

“Tidak bisakah kita seperti dulu lagi Nad?” lirih Dimas. “Dekat sebagai sahabat. Setidaknya sebelum kamu kasih aku kesempatan dan nerima aku seutuhnya” sambung Dimas yang membuat aku mengernyit heran.

Kesempatan dia bilang? Menerima dia seutuhnya? Apa maksud Dimas!

“Oke aku mau berteman lagi sama kamu Di. Aku gak mau putus tali saudara aku sama kamu. Tapi tolong kamu jangan bahas apapun yang pernah terjadi di masalalu. Karena itulah. Meski aku nerima tawaran kamu untuk berteman lagi. Tapi aku gak bisa kembali ke masa itu. Kamu dan aku sama-sama tau perasaan aku. Aku gak bisa bersikap seolah-olah tak pernah terjadi apapun. Karena hal itu bisa membuat aku benci sama kamu. Aku cuma mau kamu bersikap kayak biasa aja, apa kamu bisa?” tanyaku menuntut.

Dimas diam membeku. Dia tak bersuara sedikitpun.

“hidup itu layaknya kita sedang main basket kegemaranmu itu Di. Tak ada pause, resumeataupun restart kayak kita nonton video. Itu berarti kita tidak usah berusaha mengulang apapun dimasa lalu. Karena apapun itu takkan pernah kembali kesemula. Makanya, kamu harus berhati-hati dalam bertindak agar kamu tak salah melangkah hingga berbuat kesalahan yang bisa menimbulkan luka” lanjutku.

“kamu pikirin baik-baik syarat dari aku. Kamu terima aku bersyukur. Kamu tak terima itu gak jadi masalah buat aku. Aku duluan. Assalamu’alaikum” pamitku dan langsung berlalu dari hadapan Dimas, memasuki angkot yang kebetulan berhenti didepan.

Asa Yang TertinggalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang