14. AyT- Mimpi

78 7 4
                                    

Dua hari setelah mendengar cerita Rangga malam itu. Entah kenapa aku jadi kepikiran.

Rangga masih terlihat biasa-biasa saja diluar tapi aku yakin dia tidak sekuat itu di dalam. Memikirkannya saja membuat aku tak nyaman. Kenapa ya?

Aku bahkan sampai lupa masalahku dengan Dimas dan Kak Nathan. Kalau saja ustadzah tadi tak menyinggung tentang Kak Nathan aku pasti masih lupa.

Ada apa denganku?

Dan jika aku ingat Kak Nathan otomatis kejadian dengan Dimas pun langsung terlintas dibenakku.

Ya Allah. ada apa dengan pria-pria ini? Mengapa mereka membebani pikiranku?

"Nad, dari kemaren aku perhatiin kamu jadi banyak ngelamun kenapa?" tanya Rangga membuatku sadar kembali dari lamunan.

"Iya Kak. Kakak lagi ada masalah sama santri-santri dipesantren?" tambah Riki.

Aku menggeleng. "Nggak ko. Gak ada apa-apa" jawabku.

"Yakin? Atau masalah di kedai?" tanya Riki lagi.

Gelengan kembari kuberikan sebagai jawaban. "Nggak. Kedai alhamdulillah lancar dek" jawabku pasti.

"Terus?" selidik Rangga.

"Aku udah kenal kamu lama Nad. aku tau kalo kamu lagi banyak pikiran. Ayo jujur sama aku. Atau kalo kamu gak mau cerita ke aku. Minimal kamu cerita ke adekmu ini!" Lanjut Rangga.

"Iya Kak. Kakak gak mesti pendem sendirian terus. jangan anggap aku anak kecil Kak. Aku udah gede. Masalah apapun bagilah denganku Kak" ujar Riki menyetujui.

Aku menghela nafas panjang. Kupandangi Riki dan Rangga dengan tatapan serius "sebenernya......" mereka mendengarkan dengan seksama.

"Aku gak apa-apa" lanjutku.

Mereka melotot tak terima. Aku terbahak kencang. Mereka ini begitu mirip ya. Aku jadi geli sendiri dibuatnya.

***

Setelah Rangga pamit pulang kini aku dan Riki hanya berdua. Bu Ratih sedang pergi ke kedai. Beliau bilang ingin membantu memasak disana. Aku tak mengizinkan awalnya. Tapi dirumah pun Bu Ratih kesepian, jadi berdasarkan pertimbangan itu. Terpaksa aku mengizinkannya.

"Aku tau tadi kakak boong" ujar Riki tiba-tiba.

Aku menautkan kedua alisku tak mengerti.

"Kakak ada apa?" tanya Riki lagi.

"Kakak sebenernya lagi kepikiran Kak Nathan dek" jawabku pada akhirnya.

Giliran riki yang saat ini alisnya bertaut. "dan kenapa dengan Kak Nathan?" tanya Riki tak mengerti.

"Dia minta kakak kasih jawaban" ujarku.

Aku menatap langit-langit rumah. Mencoba menelisik apa yang membuatnya menarik hingga aku menatapnya.

"Dia minta kakak putusin mau nerima atau nolak dia dek. Kakak udah shalat istikharah. Dan tak ada jawaban yang merujuk pada Kak Nathan dek. Begitupun kata ustadzah" lanjutku.

"Dan masalahnya?" tanya Riki yang sepertinya masih tak mengerti duduk permasalahan yang bergejolak di diriku. "Kan tinggal jawab kalo kakak gak bisa" lanjut Riki.

Aku masih setia memandangi langit-langit rumah. "Kamu gampang tinggal bilang kek gitu dek. Tapi kakak tuh gak bisa. Kakak takut dia sakit hati dek" jawabku.

"Itu kan resiko yang mesti di ambil Kak Nathan Kak. Sakit hati ya wajar. Kenapa kakak mesti takut. Toh kalo kakak nerima dia dengan dasar kasihan ataupun takut nyakitin Kak Nathan itu lebih gak boleh Kak. Ntar Kak Nathan makin kecewa kalo dia tau" ujar Riki.

Benar juga ya. Daripada memberikan rasa manis yang akan berubah menjadi pahit mending pahit langsung sekalian. Riki sekarang sudah dewasa. Aku bangga padanya.

"Kamu bener dek. Makasih ya sarannya" ujarku. aku masih betah menatap langit-langit rumah.

"Terus ada masalah apa lagi kak?" selidik Riki lagi. Dia memang benar-benar peka ya!

"aku yakin bukan cuma Kak Nathan aja kan?" lanjutnya.

Kuanggukkan kepalaku. "Dimas dek..." lirihku. "Dimas udah dua kali nemuin Kakak" jujurku.

"Mau apa dia?" tanya Riki. Meski suaranya halus, tapi tersirat amarah di dalamnya.

"Dia bilang dia datang buat sebuah maaf sama satu kesempatan" jawabku.

"Maksudnya?" Riki menatapku bingung.

"Dia bilang mau mengambil lagi kesempatan besar yang pernah dia lewatkan" jelasku.

Hening melanda kami. Nafas halus riki terdengar begitu merdu ditelingaku. Meski kami duduk tak terlalu dekat, tapi entah kenapa nafas Riki seolah terdengar jelas dalam indraku.

"Kak" panggil Riki dengan suaranya yang begitu lembut.

Kali ini kuabaikan langit-langit rumahku. Dan menoleh kearah Riki. Suaranya begitu sarat akan keseriusan.

"Baik buat jawaban untuk Kak Nathan, baik buat keputusan untuk Kak Dimas. Bagusnya kakak tanya hati kakak bener-bener" ujar Riki

Aku mengernyit tak mengerti.

"Siapa yang Kakak agungkan namanya dalam hati. Dialah jawaban yang selama ini kakak cari. Aku tau hati takkan pernah berkhianat. Dia tau siapa yang kakak butuhkan. Jadi, aku kali ini gak bisa kasih solusi. Aku cuma bisa kasih alternatif tercepat untuk semua jawaban yang kakak cari. Tanya hati kakak. Itu saja. dan jangan lupa minta bantuan pada Allah. karena Allah pemilik segala jawaban." nasehat Riki padaku.

Dia benar. Riki memang benar. kenapa aku susah-susah bertanya pada orang lain sementara jawabannya memang sudah ada padaku. Aku hanya perlu berfikir dan menyerahkan semuanya pada Allah. bismillah semoga Allah membukakan jalannya padaku.

***

Terlihat padang rumput yang cukup luas membentang. Bunga-bunga tersebar diberbagai tempat. Angin berhembus menerbangkan jilbabku. Hanya satu kata yang mampu mewakili semua yang aku lihat. Indah.

Aku berjalan, terus berjalan menelusuri padang rumput ini. Lalu kutemui pohon mangga disana. Aku berjalan lagi. Menghampiri pohon itu. Matahari memang agak terik. Aku ingin berlindung sebentar disana.

Saat langkahku begitu mantap. Aku tersandung, dan terjatuh. Lalu kulihat sebuah uluran tangan dari orang yang tak kukenal. Siapa? Tangan siapa ini?

Aku mencoba mendongak untuk melihat siapa yang kini mengulurkan tangannya padaku. Tapi wajahnya masih tak bisa kulihat dengan jelas. Sinar matahari menghalangiku.

Akupun menerima uluran itu. Berdiri dengan bantuannya. Saat aku menoleh. Orang itu tersenyum.

Dia......

"Nadia..." ujarnya dengan suara yang lembut.

"Nadia.." lagi kudengar suara itu. Tapi kali ini berbeda.

"Neng Nadia" kembali kudengar lagi. "Neng udah subuh neng"

Seketika itu aku tersentak. Ternyata itu suara Bu Ratih.

"Haaahhh" aku menghela nafas panjang. Jadi tadi itu aku cuma bermimpi ya.

"Iya Bu, Nadia udah bangun" seruku dari dalam kamar.

Kenapa aku bermimpi tentang dia ya? Haaahhh apakah ini jawaban atas semua keraguanku?

Lalu kenapa harus dia?

***

TBC

Btw, 'dia' disini tuh siapa ya????
Kita kupas di chapter-capter selanjutnya ya 😉😙😆😜😈

Selamat satnight bagi yang menjalankan wkwk 😆😆

Minna i love you ❤😘😘😍😍😘😘

Btw budayakan VoMent-nya ya (😉😉kedip-kedip genit)

See you in the next chapter 😚😚

Asa Yang TertinggalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang