51.

782 63 13
                                    

Hari yang mendebarkan. Jon gugup setengah mati. Sejak tadi dia tak tenang. Ia mencari cara untuk mengalihkan rasa gugupnya. Bercermin, merapikan rambut atau jasnya, apa saja. Mama dan papanya senyum-senyum saja melihat tingkahnya.

Louisa melihat ada sesuatu yang kurang pada jas yang dikenakan Jon. Ia dekati putranya.

"Kau lupa pakai ini." Ia pasangkan boutonnieres (korsase bunga pada jas pengantin pria) pada jas putranya. Telapak tangannya menempel pada dada kiri Jon, jantungnya menggedor dadanya seperti hendak melompat keluar. "Jangan gugup, Jonathan. Tenangkan dirimu."

"Apa aku terlihat baik?" tanya Jon. Pria ini sangat tampan, ia memakai pakaian standar pengantin pria, setelan jas dan celana hitam, kemeja putih, dasi, dan boutonnieres. Bahkan sepatunya sangat hitam mengkilap.

"Tentu saja, anakku. Kau gagah seperti aku saat menikahi ibumu," sahut Jeremiah. "Jon, kau boleh takut, tapi tak boleh panik."

Pria muda itu mengangguk. Ia memeluk orang tuanya satu per satu.

"Terima kasih atas segala, Ma, Pa."

Louisa sekuat tenaga menahan air matanya.

"Louisa ingat! Maskara! Maskara nanti luntur!" gumam Louisa.

"Bukankah itu yang tahan air?" tanya Jeremiah.

"Okay. Okay..." Perempuan berambut cokelat kemerahan itu menarik nafas. "Aku akan menangis."

Dan setelah itu Louisa biarkan air matanya meleleh.

"Bedaknya?" tanya Jon menggoda ibunya.

"Nanti bisa rias lagi." Ia mengusap air matanya. "Jangan sampai aku menempel padamu saja."

Kedua pria itu tertawa.

"Apa Widi sudah datang?" tanya Jon.

"Sudah. Tania membawanya ke ruangan lain. Dia pasti sama gugupnya denganmu."

"Tentu saja."

Louisa benar. Widi gugup di tempat lain, ia jadi diam sendiri. Wajahnya seperti orang menahan kencing. Ia rapikan dasi kupu-kupu yang dikenakan. Di sini Widi juga pakai setelan jas dan celana hitam seperti Jon. Cuma berbeda dasi saja. Ia tampak imut dengan dasi kupu-kupu hitam.

Widi memandang ketiga kakaknya yang duduk tak jauh darinya. Ia ingin melakukan sesuatu yang berharga. Perlahan ia mulai duduk dalam posisi sungkem pada ketiga kakaknya.

"Mas Pur, Mas Tyo, Mas Dani, matur  nuwun sanget karena selama ini sudah melindungi dan mendidik Widi. Widi minta maaf untuk semua kesalahan yang pernah Widi lakukan selama ini . Dan Widi juga minta doa restu dari kalian supaya pernikahan dan rumah tangga Widi selalu dalam kebahagiaan."

Jujur saja, ketiga kakaknya tak siap dengan adegan ini. Mereka tidak tahu kalau Widi ingat untuk sungkem pada mereka. Akhirnya Mas Pur membelai rambut Widi, dia mewakili kedua adiknya yang lain untuk bicara.

"Ya, dek. Mas semua memaafkan kamu. Dan kami juga memberi restu supaya kamu bahagia. Jadi pasangan yang baik ya, dek."

Widi mengangkat wajahnya dan mencium tangan kakaknya satu per satu.

"Terima kasih, Mas. Widi sayang kalian."

"Hati-hati nanti baju kamu lecek lho," celetuk Mas Tyo yang ditanggapi sebuah senyuman dari Widi. Kemudian Tommy masuk tanpa mengetuk pintu.

"Widi. Tiga menit. Siap semua? Ayo berangkat," katanya dengan nada bahagia.

Kedua kakak Widi membantunya memasang boutonnieres dan menyemprotkan parfum. Kemudian Mas Pur menggandeng Widi menuju ruang pernikahan. Mereka akan berjalan menuju altar bersama.

His Love 🌈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang