9.

951 86 21
                                    

Ezra's POV

Widi dan Jon.

Mereka duduk bersila di depan gue, saling melempar senyum dan tatapan penuh cinta yang sampai sekarang masih bikin gue merinding karena mereka sama-sama cowok.

Tapi mereka itu cute.

Mereka kelihatan jauh lebih romantis dari pasangan heteroseksual.

Ngeliat bagaimana Jon memperlakukan Widi, gue kayaknya salah menilai cowok ini. Walaupun waktu ketemu pertama kali mukanya ganteng-ganteng judes kayak Terminator, sebenarnya dia pribadi yang dewasa, hangat, dan lembut. Kalau dia normal, pasti banyak cewek yang ngantri.

Widi tetaplah Widi. Gak ada yang berubah dari saat gue pikir dia cowok normal sampai sekarang dia ngaku kalau dirinya gay. Semua kebaikannya gak ada yang palsu. Plus, gue baru tahu kalau dia cengeng dan manja.

Mereka lain dari gambaran cowok gay yang sering gue baca atau lihat di media. Agresif lah, ngondek lah, bahkan dicap murahan.

Mereka santun. Mereka terlihat normal.

Dalam cinta mereka ada sesuatu yang mungkin gak bakal gue pahami sebagai cowok normal. Sesuatu yang indah yang cuma bisa mereka pahami sendiri. Gue gak berhak menghakimi mereka, karena gue gak tau apa-apa.

Dan gue penasaran, gimana sih caranya mereka bisa bersama?

Jujur, ya. Ngeliat hubungan mereka bikin kondisi gue yang masih melajang makin terasa menyakitkan.

Gue udah stop ngejar Arin. Gue mau move on dari dia.

Oh gue ingat sebuah artikel gila di internet, "Kalau sebagai cowok single kamu selalu gagal mengejar cinta cewek yang kamu suka, gak usah putus asa. Mungkin aja jodohmu jenis kelaminnya sama dengan kamu."

*****

"Jadi, gimana awalnya kalian bisa ketemu?" tanya Ezra.

Saat itu sudah pukul satu pagi. Mereka belum tidur karena kejadian tadi. Ezra sudah mendapat gelas es susu cokelat keduanya. Widi dan Jon menghangatkan diri dengan teh lemon dan madu.

"Ibuku dulu asisten rumah tangga, kerja di rumah keluarga Walter." Widi memulai ceritanya sambil tersenyum malu. "Aku bukan orang punya, jadi aku bantu ibu kerja. Nyapu halaman, cuci mobil, apa aja deh."

"Wait! Gue gak tanya profesi lo sebelum ini!" Ezra menyela.

"Dengerin dulu sih," kata Widi setengah membentak. "Tadi sampai mana ya? Oh iya! Aku kerja di keluarga Walter. Dulu aku pikir Ibu dan Pak Walter gak punya anak. Soalnya mereka selalu berdua di rumah itu."

"Orang tuaku tinggal di sana untuk mengurus pekerjaan mereka. Aku tinggal dengan nenekku di Amerika Serikat," tambah Jon sebelum menyesap tehnya.

"Ya. Suatu hari, Ibu Walter bilang anaknya datang berkunjung untuk liburan. Tapi beberapa hari aku gak lihat ada tanda-tanda penghuni baru." Lanjutnya, "Waktu itu sore hari, Ibu Walter suruh aku ajak anaknya jalan-jalan naik sepeda. Aku deg-degan banget karena kita gak pernah kenal sebelumnya."

"Terus?"

"Ternyata dia ganteng banget! Ya ampun, Zra. Jon muda ganteng banget!" Widi jadi gemas sendiri, ia senyum-senyum mengingat wajah Jon saat pertama bertemu. "Dan di situ aku pikir, aku jatuh cinta sama dia."

Jon dan Ezra memandang aneh pada Widi yang terhanyut dalam kenangannya sendiri. Kemudian Ezra menyadari sesuatu ...

"Tunggu! Kalau kamu jatuh cinta sama dia, berarti kamu udah tahu kalau kamu itu gay?!"

"Iya. Kamu jangan tanya kapan aku mulai suka sama cowok, karena aku juga gak tau. Perasaan tertarik sama cowok semakin besar sejak aku SMP. Di kelas dua SMP, aku baru tahu istilah gay, itu bukan hal yang normal dan dosa. Jadi aku sembunyikan keadaanku."

His Love 🌈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang