Alisha memang susah marah. Tapi, di saat kekesalannya pada dia, aku, dan Awan, memuncak, dia akan selalu menjahili kami.
Caranya?
Menyembunyikan tempat pensil kami.
Kami sering membiarkan tempat pensil tergeletak begitu saja di atas meja saat waktu istirahat. Jika sudah waktu istirahat, kami akan berpencar, membiarkan tempat pensil kami begitu saja. Kesempatan inilah yang sering dimanfaatkan Alisha. Triknya dilakukan berulang-ulang, tapi kadang kami terkecoh juga.
"Lho, tempat pensilku mana?" Dia--anak laki-laki itu--memasukkan tangan ke laci meja saat pelajaran hampir dimulai. "Nggak ada."
"Punyaku juga nggak ada." Aku mengernyit, berpikir di mana terakhir aku meletakkan tempat pensilku. Sedangkan Awan di sebelahku juga mencari tempat pensilnya di dalam tas.
Aku dan dia menoleh bersamaan ke arah Alisha--yang cengar-cengir. Tangan Alisha berada di laci meja.
"ALISHA! BALIKIN TEMPAT PENSILNYA!" Aku berseru gemas, menjulurkan tanganku untuk meraih tangan Alisha. Sedangkan anak laki-laki itu mendengus, mulai menggelitiki pinggang Alisha sampai sahabatku nyaris menangis karena geli.
Dua menit kemudian, Alisha menyerah, mengembalikan tempat pensil kami.
Sekarang, kalau aku kehilangan tempat pensilku, aku tahu, meski Alisha yang menyembunyikan, tidak akan ada anak laki-laki yang akan membuatnya mengembalikan tempat pensil dengan gelitikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gapai
Short StorySuatu ketika, aku bertemu anak lelaki yang senyumnya sehangat sinar matahari. Matanya berbinar penuh harapan. Lalu, di suatu waktu yang lain, cahaya harapan itu memudar dari matanya. Begitu juga senyumnya. Mereka bilang, matanya hampir buta sekaran...