Bagian 11 (Revan, dan penyakitnya)

120 20 3
                                    

Mungkin sebagian dari kalian ada yang sudah menebak apa yang terjadi dengan Revan.

Iya, Revan sakit.

Aku tidak ingat kapan persisnya aku mengetahui dia sakit. Yang jelas, aku menangkap obatnya yang berjumlah makin banyak makin hari, dan juga matanya yang menyipit saat melihat papan tulis.

Kukira, tidak ada sesuatu yang perlu dicemaskan.

Lalu, Revan mengeluh kesulitan melihat tulisan di papan tulis.

Mungkin hanya minus, pikirku. Tapi tidak ada tanda-tanda dia memakai kacamata, jadi aku diam saja.

Hari berputar dan waktu terus berjalan. Ada satu hari di mana Revan merasa kepalanya sakit, sehingga wali kelas kami memanggil orangtuanya untuk datang. Yang datang ibunya. Saat itu, pelajaran Bahasa Indonesia sedang berlangsung. Meja-meja ditepikan, dan kami membentuk beberapa baris, mendengarkan guru Bahasa Indonesia yang bercerita di depan kelas, kecuali Revan.

Anak laki-laki itu duduk di samping ibunya, di atas kursi, sementara ibunya berbicara dengan wali kelas kami. Aku tidak tahu bagaimana ekspresinya, karena aku fokus mendengarkan cerita. Yang kutahu, mendadak aku mendengar suara tangis. Perkiraan pertamaku adalah, tangisan itu berasal dari kelas sebelah, yaitu kelas lima.

Namun, suara tangis itu makin mengeras. Membuatku mengernyit. Tapi aku terlalu malas untuk mencari tahu.

Yang terjadi kemudian, sungguh di luar dugaan.

Revan limbung dari kursinya. Nyaris terjatuh ke lantai. Beruntung wali kelas kami sigap menahannya, kemudian menggendong Revan ke UKS. Guru Bahasa Indonesia kami juga sigap membantu, keluar kelas tanpa sepatu, berikut ibu Revan.

Aku dan teman-temanku terdiam. Terlalu kaget untuk bisa berkata-kata. Kenapa? Ada apa? Pertanyaan itu berdengung di kepalaku, sampai suara anak-anak di sekitarku yang membicarakan kejadian tadi beberapa menit kemudian terdengar seperti kepakan sayap lebah.

Kenapa?

GapaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang