Hari itu ulangan aksara Jawa.
Guru kami membacakan aksara Jawa, dan kami diminta menuliskannya.
Saat itu, kami sembunyi-sembunyi mengobrol, jadi tidak begitu fokus mendengarkan apa yang diucapkan guru.
Lalu aku bertanya, "eh, tadi itu 'la' atau 'wa'?"
Dia mengerutkan dahi, "kayaknya 'wa' deh."
Aku, Alisha, Awan, dan dia, menuliskan kata 'wa' dalam aksara Jawa di kertas jawaban kami.
Beberapa hari setelahnya, ulangan kami dibagikan. Aku mendapat nilai sembilan puluh. Salah satu dari sepuluh soal. Ketika aku melihat kertas ulangan Awan, dia, dan Alisha, mereka juga salah di nomor yang sama denganku.
Ternyata seharusnya 'la'. Bukan 'wa'.
Aku mendorong bahunya main-main. "Ah, kamu itu! Gara-gara kamu, kita jadi dapet nilai kurang kan!"
Dia hanya menampilkan cengirannya, tidak terlihat merasa bersalah.
Aku sadar, momen itu tidak pernah bisa terulang lagi. Ketika aksara Jawaku salah di ulangan bahasa Jawa, aku tahu itu kesalahanku sendiri.
Bukan kesalahan siapa pun.
Bukan kesalahannya.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Gapai
Kısa HikayeSuatu ketika, aku bertemu anak lelaki yang senyumnya sehangat sinar matahari. Matanya berbinar penuh harapan. Lalu, di suatu waktu yang lain, cahaya harapan itu memudar dari matanya. Begitu juga senyumnya. Mereka bilang, matanya hampir buta sekaran...