Bagian 24 (Perasaan Yang Meluruh)

110 21 0
                                    

Hari demi hari berlalu. Aku menginjak kelas enam SD.

Aku masih sering melihat Revan, walau dia tidak terlihat mengenaliku. Tentu saja, wajahku pasti tidak terlihat baginya.

Perlahan, kepak kupu-kupu yang biasa ada saat aku menatap matanya menghilang. Luruh.

Sering sekali aku berharap, bahwa hubunganku dan Revan bisa sebaik dulu. Toh aku merasa kami berdua tidak banyak berubah. Namun keinginan itu mustahil diwujudkan. Kami berada di dua dunia yang berbeda. Batas-batasnya terlalu tebal untuk ditembus.

Teman akrab menjadi kata yang mustahil di antara kami. Yang tersisa hanyalah kata teman akrab di masa lalu.

Pertemanan kami tidak usai. Hanya saja berhenti di satu titik bernama kelas empat SD. Tawa kami, pertemanan kami, senyum kami, berhenti di sana. Cukup di sana, dan tidak bisa dilanjutkan lagi hingga tingkatan kelas berikutnya.

Kini, aku menganggap Revan teman akrab dari masa lalu. Seperti tumor yang menyisakan efek, Revan memang tidak ada lagi di keping kehidupanku selanjutnya. Namun ia mengajarkanku banyak hal, tanpa disadari.

Dari senyumnya, aku belajar bahwa takdir tidak boleh ditentang, melainkan diterima.

Dari tawanya, aku belajar memahami bukti kesabaran. Bukan hanya sabar saat dijahili teman, tapi juga sabar saat mimpi-mimpi tercerabut dan dunia seolah menggelap.

Dari semangatnya untuk melanjutkan hidup, aku belajar bahwa kita tidak boleh terus hidup di masa lalu, karena masih ada masa depan yang menanti, walau aku tidak tahu, masa depan apa yang Revan punya.

Pada suatu malam, aku berhenti merasakan kehilangan akan keberadaan Revan. Dia tidak selalu ada, tapi ajarannya tentang kehidupan terus melekat hingga aku tumbuh dewasa.

Revan, semoga selalu sukses. Terus hidup, dan jangan lupa bahagia. Aku percaya semua anak punya masa depan. Kamu juga pasti punya. Di masa depan nanti, aku nggak sabar melihat semuanya.

GapaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang