Itu adalah suatu hari di akhir bulan Maret. Revan tidak masuk sekolah.
Dan ketika pelajaran selesai, wali kelas kami menyampaikan sesuatu.
Tentang Revan. Dan sakitnya. Kenapa dia merasa kepalanya sakit. Kenapa dia kesulitan membaca tulisan di papan tulis.
Katanya, Revan menderita tumor otak. Tumor itu berada di bagian saraf matanya, membuat penglihatannya terganggu. Katanya, Revan sudah mengalami gejala tumor otak sejak kelas tiga.
Aku tercekat. Seperti ada yang mengaduk-ngaduk perutku.
Ya tuhan. Tumor otak.
Itu penyakit yang biasanya ada di sinetron. Dan kini aku dihadapkan pada realita, bahwa teman sebangkuku menderita penyakit itu.
Wali kelasku menegaskan Revan akan tetap bersekolah, sambil menjalani pengobatan. Jangan canggung, pesan beliau. Perlakukan Revan seperti orang biasa. Jangan menganggapnya lemah dan sakit. Revan kuat. Jangan membuatnya sedih karena diperlakukan seperti orang lemah.
Perasaanku campur aduk.
Bagaimana bisa? Kenapa?
Revan selalu terlihat ceria dan bahagia, demi tuhan. Selain obat yang harus dia telan setiap usai makan siang, dia senormal anak lelaki lain yang kukenal. Seperti Awan. Seperti anak lelaki lain di kelasku. Bermain sepak bola, tertawa, mengobrol, bercanda, mendorong, menjahili, dan memimpikan tentang masa depan.
Aku menelan ludah.
Seperti ada yang menyumbat tenggorokanku.
Mataku siap menumpahkan air mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gapai
Historia CortaSuatu ketika, aku bertemu anak lelaki yang senyumnya sehangat sinar matahari. Matanya berbinar penuh harapan. Lalu, di suatu waktu yang lain, cahaya harapan itu memudar dari matanya. Begitu juga senyumnya. Mereka bilang, matanya hampir buta sekaran...