Bagian 19 (Revan, dan matanya yang kosong)

83 17 0
                                    

Aku telah melupakan banyak detail kejadian ini. Mungkin karena aku terlalu gugup dan malu. Tidak banyak yang bisa kuceritakan, tapi akan kuceritakan apa yang aku ingat.

Dua minggu setelah Revan dioperasi, ia pulang ke rumah. Aku dan beberapa teman perempuan, termasuk Salsabila, Dwi, Alisha, juga Ana, berencana untuk menjenguk Revan, bersama ibu kami. Ada sekitar dua belas anak yang ikut, ditemani ibuku. Kami berangkat bersama dari rumahku, yang memang tidak begitu jauh dari rumah Revan.

Rumah Revan berada di sebelah sungai, memasuki sebuah gang kecil. Yang menerima kami saat itu adalah ibunya, seorang perempuan seusia ibuku dengan kulit sedikit gelap dan mata yang agak lelah. Tapi aku menyukai keramahannya. Aku juga bertemu adik bungsunya, yang saat itu masih berusia dua tahun. Kami berdesakan di ruang tamu rumah Revan yang sempit, saling sikut-menyikut karena gugup. Di sebelah ruang tamu itu ada kamar di mana aku bisa melihat sepintas Revan berbaring, karena hanya ada kusen, tanpa daun pintu. Tapi aku tidak sempat mengamati apa pun.

Namun, saat perjalanan pulang, Salsabila berbisik ke arahku. "Kay, sumpah deh. Aku tadi takut gitu, sama kasian pas ngeliat matanya. Kan tadi aku sempat ngelirik ke Revan ya. Beneran, matanya beda banget sama yang dulu. Aku takut."

Tatapan mata Revan tidak pernah membuat siapa pun takut.

Dadaku mencelos.

Lalu, beberapa hari kemudian, wali kelas meminta kami membuat kesan dan pesan selama berada di kelas empat. Revan belum masuk. Aku menulis deretan kalimat klise, tapi di dalam hatiku, semua perasaan bercampur aduk.

Waktu berlalu begitu cepat. Rasanya baru kemarin aku melihat Revan dan Alisha bertengkar, dan sekarang aku tidak melihatnya lagi. Rasanya baru kemarin aku dan Alisha dengan bandelnya bermain saat pelajaran olahraga dan tidak memerhatikan. Rasanya baru kemarin perasaan 'lebih'ku pada Revan tumbuh.

Tahu-tahu saja, kami sudah akan naik ke kelas lima.

Kami tak selamanya menjadi anak-anak, aku berpikir pahit. Ingatanku melayang pada hari pertama kami kelas empat SD, saat wali kelas kami meminta kami maju ke depan kelas, mengenalkan nama dan cita-cita.

"Aku mau jadi pembalap!"

Hari itu, Revan berkata dengan semangat. Ada binar ceria di matanya.

Cita-cita yang sederhana. Seperti kebanyakan anak kelas empat SD lain, Revan juga bermimpi. Seperti aku. Namun, aku selalu percaya, Revan akan menggapai cita-citanya, seperti aku akan menjadi penulis di masa depan. Setidaknya, sampai tumor otak di saraf mata itu menghancurkan semuanya.

Jika mesin waktu itu memang ada, aku ingin kembali ke masa lalu. Aku ingin kembali ke masa di mana Revan masih tertawa. Di mana Revan masih punya binar ceria di matanya, bukan binar mata kosong dan redup seperti yang Salsabila lihat. Di mana kebahagiaan masih ada, mengikutinya.

Cepat sembuh, Re. Cepat masuk sekolah lagi.

Harapan itu tidak pernah terkabul.


GapaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang