Ceritaku kali ini agak sedikit panjang. Bersabarlah membacanya.
Seminggu sebelum hari itu, kami baru menyelesaikan outbound di Pasuruan. Lalu, guru kami meminta kami menulis kesan dan pesan, berikut cerita kami selama outbound di sana.
Seperti anak kecil? Tentu saja, karena waktu itu umur kami baru sembilan atau sepuluh tahun.
Kami mulai menulis di hari Senin. Aku menyelesaikan tulisanku dalam satu hari. Yah, bukannya sombong, tapi kecepatan menulisku tidak buruk, apalagi aku bukan tipe anak yang menceritakan pengalaman dengan detail. Sekadar info, aku benci menulis pengalamanku.
Yah, cerita ini adalah sesuatu yang lain.
Di hari Senin, dia tidak masuk.
Dia baru masuk di hari Selasa. Terlambat mulai menulis. Awan dan aku sudah menyelesaikan tulisan kami. Alisha? Oh, jangan tanya. Tulisannya kecil-kecil, bundar, perbaris jaraknya amat jauuuh--membuat tulisannya kelihatan berantakan. Alisha tidak pernah cepat dalam menulis, meski pun saat ia menjadi teman sebangkuku di SMP, aku lebih suka meminjam catatannya yang rapi dan lengkap dibandingkan milikku.
Wali kelas kami memanggilku. Memintaku membawakan laptop Toshiba yang ada di meja guru, yang berada agak jauh dari papan tulis. Aku menyanggupi untuk membawakan laptop Toshiba itu ke wali kelas kami yang berdiri di dekat papan tulis.
Aku berbalik, ingin berjalan ke meja guru. Dan aku dikejutkan oleh dia, lengkap dengan cengiran khasnya.
"He, Ya, tau nggak, temenmu itu lambat banget. Masa dia nulis duluan, tapi aku udah selesai sekarang?"
Temenmu, adalah kata ganti dari Alisha. Aku menoleh ke arah Alisha, yang masih berkutat dengan kertas dan pensil. Tawa geliku pecah. Dia menyeringai geli.
Aku meneruskan langkah, mengambil laptop Toshiba di atas meja guru. Tapi dia menghambat langkahku menuju wali kelas kami, karena dia malah menceritakan cerita lucu yang membuat tertawa berkali-kali.
Pada akhirnya, bukan aku yang membawakan laptop Toshiba itu ke wali kelas kami.
Dia yang membawanya.
Aku terkekeh setiap mengingat kejadian itu. Sekaligus mendengus getir.
Dalam kehidupan, ada banyak momen yang tidak bisa kita ulangi lagi. Seperti jatuh cinta untuk pertama kali, menangis untuk pertama kali, merasakan euforia masuk SD pertama kali, dan beberapa momen pertama kali lain.
Momen-momen tentang dia bukan momen-momen pertama kali.
Tapi, baik aku, Alisha, atau Awan, tidak mengulangi momen itu dengannya lagi.
Kami sudah terpisah terlalu jauh. Secara harfiah, bukan secara teknis. Saat aku kelas 5 SD, kelasku dan Alisha hanya terpisah satu kelas dengannya. Tapi kami sudah tidak pernah berbicara lagi.
Lihat, betapa lucunya hidup ini. Ada orang-orang yang tinggal di dekat kita, tapi terasa jauh. Sebaliknya, ada orang yang keberadaannya jauh dari kita, namun terasa amat dekat.
Momen tentang laptop dan siapa-yang-paling-cepat-selesai itu akan selalu aku ingat.
Separuh alasan mengingatku mungkin karena dia dan Alisha bertengkar untuk kesekian kalinya, soal siapa-yang-paling-cepat-selesai.
Separuh alasan lagi...
Mungkin karena ada rasa lain yang tumbuh di hatiku sejak itu.
Rasa yang biasanya diidentikkan dengan warna merah jambu. Rasa yang bisa membuat setiap orang merasa salah tingkah atau mengalami peningkatan hormon adrenalin sampai pipi memerah.
Mungkin, mulai momen tentang laptop itu terjadi, rasa itu sudah tumbuh.
Hanya saja, aku yang tidak sadar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gapai
NouvellesSuatu ketika, aku bertemu anak lelaki yang senyumnya sehangat sinar matahari. Matanya berbinar penuh harapan. Lalu, di suatu waktu yang lain, cahaya harapan itu memudar dari matanya. Begitu juga senyumnya. Mereka bilang, matanya hampir buta sekaran...