Lihat senyumnya itu, demi tuhan. Bagaimana mungkin anak yang menderita tumor otak bisa tersenyum seperti itu? Masih bisa sesemangat itu?
Revan mengacungkan tangan, menjawab pertanyaan guru dengan semangat. Sorot matanya berbinar, seperti bintang di malam hari.
Lihat tawanya itu, yang membuat matanya menyipit. Bagaimana mungkin penglihatannya terganggu karena tumor di saraf matanya?
Revan mengomel sambil mencubit bahu Alisha. Alisha balas mencubit lengannya. Lalu mereka berdua saling mencubit.
Aku menahan emosi selama sisa hari, sampai Revan mendongak, menatapku, ketika kami sedang mengerjakan tugas yang diberikan guru.
Anak lelaki itu memamerkan cengiran. Mengajakku mengobrol. Aku tenggelam dalam obrolan, dan kami tertawa girang seperti biasa. Menggoda Alisha yang menjerit-jerit jengkel karena gangguanku, Revan, dan Awan, membuatnya hilang konsentrasi.
Rasanya seperti terlempar ke masa yang terasa jauh sekali tertinggal di belakang, padahal baru terjadi beberapa minggu lalu.
Masa di mana yang kami tahu; Revan adalah anak lelaki sepuluh tahun yang sehat dan ceria.
Bukan Revan yang harus menjalani pengobatan karena mengidap tumor otak.
Tidak sengaja, aku melihat Revan menyipitkan mata untuk membaca tulisan di papan tulis saat pelajaran berikutnya.
Seperti ditampar, aku menyadari, Revan tidak benar-benar sehat. Dia sakit.
Dan teman lelakiku itu, bisa jadi tidak akan masuk sekolah selama beberapa waktu untuk menjalani pengobatan. Pengobatan yang hasilnya abu-abu, tidak jelas hasilnya antara berhasil atau tidak.
Kutahan tangis, seraya mencengkram pensil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gapai
ContoSuatu ketika, aku bertemu anak lelaki yang senyumnya sehangat sinar matahari. Matanya berbinar penuh harapan. Lalu, di suatu waktu yang lain, cahaya harapan itu memudar dari matanya. Begitu juga senyumnya. Mereka bilang, matanya hampir buta sekaran...