Bagian 16 (Revan, dan betapa semuanya memburuk)

87 19 0
                                    

Ulangan harian menyambut kami pada pertengahan April. Aku merutuk seraya membolak-balik lembar buku IPAku. Aku tidak suka belajar. Siapa sih yang suka?

"Kayanaaa."

"Apa." Aku menyahut malas. Salsabila menghampiriku dengan langkah setengah melompat, lalu loncat duduk di bangku yang terletak di sampingku. Rok merahnya sempat tersibak sedikit, sebelum anak perempuan itu membenarkannya dan mendekat ke telingaku.

"Eh, eh, kamu udah ngasih tau Revan belum, kalau hari ini dia pidato?"

"Kirain apaan, Saaal!" Aku mendengus, tapi lantas terlonjak. "EH BELUM!"

"Yah, cepetan dikasih tahu dong."

Di sekolah kami, sebelum makan siang, semua murid bergantian memberikan pidato singkat. Bergiliran sesuai absen. Kemarin Revan tidak masuk untuk ke sekian kalinya, dan aku menggantikannya. Jadi, sekarang gilirannya.

Aku menoleh, mencari keberadaan Revan. Itu dia, menguap di dekat meja guru. Dengan segera, aku menghampirinya. "Revan!"

Dia mengangkat wajah. "Kenapa?"

"Hari ini kamu pidato ya. Kan kemarin udah aku."

"Aku?" tanya Revan sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Mmm."

Senyum Revan merekah. Dia mengacungkan jempol.

Sementara, dadaku perih menahan nyeri.

Mata Revan tidak melihat ke arahku, meski aku tahu dia ingin melihatku.

Dia melihat ke belakangku.

***

Seakan tidak cukup memberi ulangan, guru IPA kami menyuruh kami mengerjakan latihan lagi di buku paket. Seisi kelas merutuk pelan, tapi tidak berani membantah. Bagaimana pun kami hanya bocah sembilan dan sepuluh tahun yang masih takut berdosa pada guru.

Ketika aku hendak mengumpulkan tugas tersebut, aku tidak sengaja melewati meja Revan. Pemiliknya sendiri sedang beranjak ke kamar mandi.

Aku terdiam lama di depan meja Revan. Mataku menelusuri tulisan sedikit berantakan yang tertera di kertas yang tergeletak di atas meja.

Hatiku mencelos. Perasaanku campur aduk. Persis seperti kamu memasukkan berbagai macam bumbu dan makanan ke dalam sebuah baskom dan mengaduknya tanpa ampun. Ada sedih di sana, juga khawatir.

Dan takut.

Perasaanku hari ini sedih,karena aku kesusahan untukmelihat. Namun, obat untuk penyakitnya ada. Tinggal tunggu tanggal pengobatannya.

Aku menarik napas panjang, yang entah kenapa terasa begitu susah. Dua minggu terakhir, aku bisa menetralkan diri. Tidak lagi merasa terlalu sedih ketika melihat Revan. Tawanya telah menyakinkanku.

He's fine. Don't worry, Kay.

Kuucapkan kalimat itu seperti mantra. Berulang, dalam hati.

Sayangnya, tulisan di kertas itu tidak berubah.

Revan susah melihat.

Revan sedih.

Obat untuk penyakitnya sudah ada.

Kini sebuah rasa lega bercampur di hatiku. Tanggal pengobatan akan segera tiba. Revan akan sembuh.

Tapi bagaimana kalau dia tidak sembuh?

Menyingkirkan pikiran itu jauh dari benak, aku mendongak dan berkedip. Kemudian berjalan memenuhi panggilan Alisha.

Sambil berharap air mataku tidak menetes dan dilihat oleh sahabatku.

***

Jam pulang sekolah tiba. Seisi kelas bersorak gembira. Aku menyambar buku di atas meja dan di kolong meja, menjejalkannya ke tas. Lalu meraup alat tulis dan memasukkannya ke dalam tempat pensil, yang lantas kubenamkan juga di tas. Setelah mengangkat kursi, aku bergerak keluar kelas, memakai sepatu.

Aku tidak bisa langsung pulang, karena harus menunggu Alisha memakai sepatu. Saat sepatuku sudah terpakai rapi, Revan keluar dari kelas, menoleh ke arah rak sepatu. Lalu memandangi jajaran sepatu dengan kening berkerut.

Heran menancap di otakku. Bukankah sepatu Revan terlihat jelas? Sudut kanan rak ke dua. Tapi Revan tidak mengambil sepatunya sendiri, namun mengambil sepatu Awan, terlihat bingung.

"He, itu lho sepatumu." Aku menunjuk sepatunya dengan jari. Namun sepatu di rak ketigalah yang ia pegang.

"Bukan yang itu... Yang ini." Akhirnya aku mendekati Revan, mengulurkan sepasang sepatu padanya.

Anak lelaki itu masih melemparkan senyum terima kasih padaku.

Padahal dia tidak lagi bisa melihat yang mana sepatunya.

Kenapa dulu aku tidak memahami, kalau semenjak hari itu, semuanya semakin buruk?

Revan kesusahan melihat, bahkan untuk sepatunya sendiri. Matanya tidak bisa fokus.

Kenapa aku tidak memahami semua tanda itu?


GapaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang