|PROLOG|

1.3K 77 39
                                    

"Nan, jangan pergi."

Keenan menghela napas berat. Mendengar Syra berbicara dengan nada menyedihkan itu, membuat hati Keenan ngilu. Berbalik badan, Keenan mulai mengayun langkahnya, meninggalkan Syra, sendirian.

Purnama malam itu enggan keluar dari kumpulan awan kumulonimbus, seolah enggan melihat perpisahan mereka berdua. Syra memandang langit sejenak, kemudian kembali menatap punggung Keenan yang semakin mempertebal jarak. Sedetik setelah itu, air matanya jatuh tepat di pipinya yang mulai dingin karena angin malam. Awalnya hanya satu tetes, namun tak lama kemudian, tetesan-tetesan lain ikut menyusul.

Di malam dingin itu, Syra menangis, tak terbendung.

"J-jangan p-pergi, Nan," ucapnya, ditelan kesunyian malam. Rasanya, Syra ingin sekali meraih Keenan kembali, menahannya, agar jangan pergi. Namun apa daya, dirinya terlalu lemah--seperti biasa, tubuhnya bergemetar, tak bisa menahan dinginnya malam juga tangisnya.

Sementara dengan Keenan, laki-laki itu sedang berdebat dengan pikiran dan hatinya. Dia tidak mau pergi, namun tidak memiliki pilihan lain lagi.

"Keenan...," Syra memanggilnya lagi. Kali ini dengan nada memohon,"jangan pergi."

Keenan berhenti. Meneguhkan hati, ditariknya napas panjang. Dengan senyuman, Keenan memutar badannya, menatap Syra yang juga sedang menatapnya. "Jangan kira gue bakal lupa sama lo," ucap Keenan. Tangannya mengepal, menahan diri. "Gue pergi."

Seusai mengucapkan kalimat terakhir itu, Keenan segera berbalik, menutupi matanya yang sudah memerah dari pengelihatan Syra.

Keenan tidak pernah tau, betapa besar rasa Syra kepadanya, dan betapa sedih Syra ditinggalkan olehnya.

Dan Syra tidak pernah tau, bahwa Keenan juga tidak ingin pergi, dan Keenan juga menangis malam itu.

***

Need voment and share.

-S.I.Hafadz-
(Binjai, 12 Oct 2017)

ChangedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang