📌Ah, Ini Rumit! | Enam

305 26 40
                                    

Hari masih cukup pagi. Cuaca langit juga terbilang cukup stabil. Sepasang remaja berseragam sekolah ini sama-sama bergeming di kendaraan, tidak ada kata yang terlontar dari tutur keduanya.

Setelah lamanya Freya menggerak-gerakan tangannya, memberi tahu arah jalan menuju rumahnya. Akhirnya mereka sampai juga di tujuan.

Freya segera turun dari motor sport putih milik Keenan. Lalu berdiri tegak di sebelah kanan cowok yang barusan mengantarnya. Hembusan angin silir-semilir, menguraikan rambut panjang hitam milik Freya. Membuat Freya semakin anggun di penglihatan Keenan.

"Gue pulang ya?" kata Keenan. Untuk yang pertama kalinya Keenan memberikan senyuman manis andalannya pada Freya.

Terlihat jelas senyum yang mengembang di wajah Freya. Matanya berbinar-binar. Lantaran, memang ini adalah saat perdananya melihat senyum seindah ini.

"Malah nyengir," ledek Keenan.

Seketika senyum di wajah Freya mengempis. Ekspresinya kini berubah. Alisnya menyatu ke tengah sejenak. Ih, padahal udah seneng-seneng, onta! Benak Freya.

"Yaudah sana pulang!"

"Ngusir?" tanya Keenan. Sambil mengangkat satu alis tebalnya.

"Ih, tadi katanya mau pulang?" Freya mengernyitkan dahinya. Menggigit bibir bagian bawahnya, kesal.

Keenan mengukir senyum siput. "Yaudah," kata Keenan. Seraya menyalakan mesin motornya.

Sebelum Keenan berjalan, ia berkata, "kalo suka langsung bilang aja. Dilarang kangen kalo belum bilang suka." Keenan tersenyum miring. Lalu menancapkan gasnya. Pergi meninggalkan Freya.

Kening Freya mengernyit. Setelah lama ia berusaha mengartikan ucapan Keenan. Senyumnya kembali mengembang, kali ini dengan pipi yang memerah. Freya berbalik lalu, mengayun langkahnya menuju pintu rumahnya.

Freya membuka pintu rumahnya pelan.
"Mah?" Freya memanggil Lena dari ruang tamu. Sambil bersimpuh, melepas kedua sepatu hitamnya.

Lena yang mendengar panggilan putrinya itu langsung menghampiri sumber suara.

"Kamu kenapa? Papa ngabarin Mama lewat telepon katanya kamu sakit. Bener?" tanya Lena.

Freya masih sibuk mengurai simpulan tali-tali sepatunya.

"Siapa yang nganter kamu?" tambah Lena lagi.

"Cowok?" Lagi-lagi bertanya. Padahal belum ada satu pun pertanyaannya yang terjawab.

"Iya mah iya," Freya bangkit dari simpuhnya. Menyusun sepasang sepatunya di rak. Kemudian mencium tangan Lena.

"Lea istirahat yah," ucapnya. Seraya melangkah menuju kamarnya.

Lena mengukir senyum simpul. Tatapannya seolah berkata, dasar anak remaja.

Freya telah tiba di kamar kesayangannya. Ia melepas seragam sekolahnya. Lantas menukarnya dengan kaus pendek, berwarna merah muda polos, berbahan katun. Serta celana jeans biru, setinggi paha.

Freya menghempas badannya ke ranjang. Tak peduli ia mendapat satu alfa di buku absen sekertaris kelasnya. Ia meraih ponselnya yang ia letak di nakas tadi. Mengatur posisi telungkup. menyangga dagunya dengan bantal kesayangannya.

Keenan, batinnya.

Adalah sebuah keganjilan jika aku mencintainya, pikir Freya.

Secepat ini Freya merasa takut kehilangan kepada seorang cowok. Padahal dulu, ia harus membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk merasakan hal itu kepada seseorang yang ia sayang. Kenapa Keenan berbeda?

ChangedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang