📌Bisa Akur? | Empat belas

259 11 4
                                    

Setelah mereka berkenalan lebih jauh, Kini Keenan dan Syahira saling bertatap mata satu sama lain. Senyum yang indah itu juga belum luntur dari bibir mereka berdua. Tanpa mereka sadari, sang senja sudah tampak di pelupuk barat, langit biru yang kini bertukar jingga, serta rinai hujan yang juga terlihat mereda.

Apa mungkin seorang Keenan menyukaiku? Entahlah, yang pasti sekarang aku sudah berkhayal terlalu jauh. Gimana dengan Kak Dirga? yang jelas-jelas selalu mengungkapkan perasaannya setiap malam, serta bertanya kesiapanku untuk menerimanya, batin Syahira.

Kenapa secepat ini gue takluk sama dia? Gue cuma takut sama sifat gue. Sifat yang seharusnya manusiawi, seakan menjadikan gue bukan manusia lagi. Cepet suka dan cepet bosen. Ah, Gue harap Syahira punya caranya sendiri untuk selalu buat gue jatuh cinta, kaya gini. batin Keenan.

Jegeer!

Suara gemuruh disertai kilat itu menyadarkan mereka atas semuanya.

"Eh, udah sore nih," tukas Syahira. Pipinya sedikit memerah karena sedari tadi Keenan selalu membuatnya salah tingkah.

"Iya, udah reda juga hujannya," tambah Keenan. Ia beranjak dari bangkunya dan sedikit meregangkan tubuhnya.

"Yaudah kamu tunggu di pos aja dulu sama Pak Samsyul, biar nanti aku anter pulang," kata Keenan sembari tersenyum.

Syahira menaikkan alisnya dan mengangguk lembut. Senyumannya mungkin tak akan pernah hilang dari memori ingatan Keenan. "Terus, kamu mau kemana?" tanya Syahira.

"Ngambil tas, di kelas." Keenan mulai melenggangkan kakinya menuju kelasnya yang lumayan jauh dari kelas Syahira, karena mereka berbeda jurusan. Syahira sendiri juga mulai mengayun langkahnya menuju pos satpam menunggu Keenan.

Dua menit Keenan berjalan. Baru sampai di ruang tata usaha, seketika langkah kakinya terhenti. Keenan menemukan Freya sedang menangis tersedu-sedu di meja piket.

"Freya?" pekik Keenan sambil bergegas menghampiri cewek yang terlihat malang itu. Freya menengadahkan kepalanya. Matanya sembap tak karuan, mungkin ia telah menangis berjam-jam lamanya.

"Kee-nan." Senggak-sengguk tangisnya membuat Keenan khawatir.

"Lo kenapa?" tanya Keenan.

"Siapa yang buat lo begini?" tambahnya. Sementara Freya masih belum stabil untuk bicara.

"Lo tenangin diri lo dulu. Tarik napas, buang." Keenan memberi sedikit intruksi agar Freya dapat berbicara dengan tenang. Sesuai intruksi, Freya berulang kali menghela napasnya lalu menghembusnya perlahan.

"G-gue nggak tau, harus pulang sama siapa Nan," jelasnya.

"Batre gue low." Suara Freya mengecil. Tampak seperti ingin menangis lagi.

"Uang gue jatuh, ngga tau dimana." Air mata itu mulai keluar lagi dari pelupuk matanya. Keenan menyeka bahu Freya dengan lembut.

"Mana nomor kakak lo?" tanya Keenan sembari mengeluarkan ponsel di saku celananya.

"Kakak gue masih kuliah Nan, makanya dia nggak bisa jemput." Freya menyapu air matanya sendiri.

"Mama nggak bisa nyetir. Papa kerja," jelas Freya. Hanya satu jalan dari masalah ini. Keenan harus bersedia mengantar Freya pulang.

 Keenan harus bersedia mengantar Freya pulang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ChangedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang