Bella menghirup udara segar di sekitarnya, matanya tertutup menikmati setiap embusan angin yang menerpa kulitnya. Dirinya baru saja pindah ke kota ini, dan sejauh ini ia tak menyesal, pemandangan alam yang kota ini suguhkan begitu memanjakan matanya. Membuat Bella tak pernah bosan untuk berada di balkon kamar dan memandang hutan yang terbentang.
Penduduk di daerah ini juga cukup ramah, beberapa dari mereka menyapa ketika Bella baru tiba di kota ini. Mengingat hal itu membawa senyum di wajah Bella, ia optimis hidupnya akan lebih baik di sini daripada di kota besar seperti New York, terlebih kota itu mau tidak mau membuat ingatannya kembali tertuju pada mantan kekasihnya yang berengsek. Bella berharap pria itu membusuk di penjara.
"Bella, bibi mau belanja, apa kau mau ikut?" Bella berbalik, melihat bibinya yang baru saja memasuki kamarnya, wanita berusia 40 tahun itu masih terlihat cantik, Bella merasa bahwa bibinya itu tak pernah terlihat tua. Bella berharap dirinya juga akan seperti bibinya, bukankah menyenangkan memiliki wajah yang awet muda seperti itu?
"Bisakah Bibi menunggu sebentar? Aku harus berganti pakaian dulu," ucap Bella sambil menunduk melihat pakaian yang dikenakannya saat ini, ia hanya memakai pajama berwarna biru.
"Oh, tentu saja, Honey. Jangan terlalu lama, oke?"
Bella tersenyum dan mengangguk, menanggapi perintah bibinya. Bella memilih baju yang akan dikenakannya sambil bersenandung pelan. Tiga hari berada di sini, ia telah merasa bahagia. Sangat berbeda dengan tempat tinggalnya yang sebelumnya, ia selalu merasa tertekan di sana, pekerjaan yang memakan banyak waktu, pacar yang posesif dan lingkungan yang kurang bersahabat karena masyarakat yang sibuk dengan urusan masing-masing. Mengingat semua itu membuat Bella menggerutu.
Bella mengganti pakaiannya dengan cepat, rambutnya ia kuncir kuda supaya tak terlalu mengganggu. Kadang rambut panjangnya membuat risi saat ia harus melakukan sesuatu dengan cepat. 'Mungkin aku akan memotongnya sedikit, nanti' pikir Bella sambil menguncir rambut brunette-nya.
"Ayo, Bi." Dengan semangat Bella menggandeng tangan bibinya, ia begitu antusias untuk keluar rumah dan bertemu beberapa penduduk di sini, mungkin saja ia akan bertemu dengan teman baru nanti. Bibinya hanya tertawa saat melihat Bella yang begitu bersemangat.
"Bibi Ruth, kenapa kota ini begitu sepi saat malam hari?" tanya Bella. Ia ingat saat malam tiba, kota ini bagaikan tempat tak berpenghuni, tak ada orang yang keluar rumah karena semua penduduk lebih memilih berdiam di dalam rumah mereka. Hanya cahaya lampu yang menandakan bahwa kota ini memiliki penduduk.
Karena tak mendapat jawaban dari bibinya, Bella menoleh ke arah samping, bibinya terlihat tegang, tangannya yang memegang setir tampak memutih karena terlalu erat memegang kemudi itu. Bella tak mengerti dengan reaksi bibinya, ia hanya bertanya mengenai sesuatu yang menurutnya sedikit aneh, tapi respons bibinya justru seperti baru saja mendapat kabar buruk.
"Bibi," panggil Bella sekali lagi.
"Ah, tidak ada apa-apa dengan kota ini, kau hanya perlu mematuhi peraturan di sini dan semua aman." Bella mengerutkan keningnya, tak mengerti dengan maksud bibinya. Bella tak akan menyerah mencari jawaban mengenai hal ini, rasa ingin tahu dalam dirinya terlalu kuat untuk diabaikan begitu saja.
"Apa maksud Bibi dengan aman? Apa kota ini berbahaya?"
"Honey, dengarkan apa yang bibi katakan ... kota ini aman, sangat aman, tapi kau juga harus mematuhi peraturan yang ada. Kau tahu, kan, peraturan dibuat untuk kebaikan kita?" Meskipun tak puas dengan jawaban itu, Bella harus menutup mulutnya karena saat ini mereka telah berada di depan sebuah supermarket.
Bibi Ruth bergegas turun, ia terlihat lega saat mereka berdua telah sampai di tujuan. Bella yakin alasan utama kelegaan itu adalah pertanyaannya tadi. Pertanyaan yang masih belum mendapat jawaban pasti, entah apa alasan Bibi Ruth tak mau memberi tahu. Bella tak menyukai rahasia, dan ia pasti akan mendapatkan jawabannya nanti, bagaimanapun caranya.
Bella mengambil alih trolley yang tengah didorong oleh bibinya, ia merasa sudah menjadi keponakan yang tak punya hati saat melihat bibinya itu masih pucat dan tegang. Ada sedikit penyesalan telah bertanya hal itu, Bella akhirnya memutuskan untuk tak bertanya lebih lanjut. Ia akan mendapatkan jawabannya dari orang lain.
"Bibi mau beli apa?" tanya Bella mecairkan keadaan. Bibi Ruth dengan cepat mengeluarkan catatannya lalu membacakan barang-barang yang akan dibelinya. Bella mengarahkan trolley-nya mengikuti bibi Ruth yang sepertinya sangat hafal di mana letak semua barang yang sedang dicarinya.
Bella melihat ke sekelilingnya saat bibi Ruth masih sibuk memilih daging, tatapannya jatuh pada seorang pria yang sedang berdiri memandangnya, jarak mereka cukup jauh sehingga Bella tak terlalu jelas melihat sosok itu. Pria itu juga langsung pergi ketika tatapan mereka bertemu.
Bella mengangkat bahunya, merasa tak perlu memikirkan orang asing yang tak sengaja bertatap mata dengannya. "Ayolah, Bibi, aku tak melihat perbedaan di antara kedua daging itu, dan kita sudah berdiri di sini selama 5 menit."
Ketika bibinya menatapnya dengan tajam, Bella hanya bisa menutup mulutnya kembali, tak mengatakan apa pun lagi. Bibinya itu begitu mirip dengan ibunya, Bella selalu protes saat ibunya terlalu lama memilih sesuatu hingga membuat kakinya pegal karena berdiri terlalu lama. Sepertinya bersikap terlalu selektif telah menjadi tradisi di keluarga ibunya, pikir Bella mengingat orangtuanya di New York.
"Bella?" Bella menoleh melihat seorang yang memanggilnya, senyum langsung menghiasi bibirnya begitu melihat Melissa, wanita yang seumuran dengannya sekaligus tetangga bibi Ruth.
"Hai, Mel," balas Bella.
Melissa tersenyum, menghampiri Bella dan bibi Ruth yang kini telah selesai memilih daging. Bella melihat daging yang dipilih bibinya dan ia masih tak mengerti keistimewaan daging itu dibanding daging yang lain.
"Hello, Honey, kau sedang berbelanja juga?" sapa bibi Ruth pada putri sahabatnya itu.
"Iya, Bi, dan seperti biasa aku kehilangan jejak ibuku." Melissa tertawa kecil, begitu pun dengan bibi Ruth. "Hey, Bel, kenapa kau tak pernah ke rumahku?"
Bella menggaruk tengkuknya, sebenarnya ia juga ingin pergi ke rumah Melissa tetapi melihat banyak teman Melissa yang sering berkunjung ke rumah wanita itu, membuat Bella sedikit segan.
"Mana ponselmu? Bagaimana kalau kau telepon aku nanti?" tambah Melissa. Tanpa berpikir panjang, Bella memberikan ponselnya pada wanita itu. Melissa pun langsung memasukkan nomor ponselnya. Dengan senyum lebar, Melissa mengembalikan ponsel Bella. "Jangan lupa telepon, oke? Sepertinya aku harus pergi sebelum ditinggal oleh ibuku. Bye, Bibi Ruth ... bye, Bel."
Bibi Ruth tertawa melihat Melissa yang begitu terburu-buru. Sedangkan Bella tersenyum melihat punggung Melissa yang mulai menjauh. Ia tak heran jika Melissa memiliki banyak teman. Ya, wanita itu begitu ceria dan pandai bersosialisasi.
"Gadis itu selalu kehilangan ibunya saat berbelanja," ucap bibi Ruth sambil menggelengkan kepalanya. Setelah kepergian Melissa, keduanya kembali melanjutkan kegiatan berbelanja mereka. Daftar belanjaan bibi Ruth begitu panjang hingga membuat Bella sedikit menggerutu karena ia tahu perjuangannya masih panjang.
Tanpa mereka berdua sadari, ada sepasang mata yang mengikuti pergerakan mereka sejak tadi, pria bertopi itu menyeringai ketika melihat dua orang yang masih asyik berbelanja.
"Soon," ucapnya sebelum pergi menuju kasir.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
King's Obsession
WerewolfBella tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena menuruti rasa penasarannya. ia hanya ingin tahu rahasia dibalik hutan lebat yang berada di kota barunya. tapi siapa sangka ia justru terjebak dalam takdir yang tak pernah disangkanya. "Jangan...