Adrien memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, sedari tadi matanya tak lepas dari wanita yang kini tengah duduk di taman. Wajah wanita itu terlihat begitu kontras dengan suasana di sekitarnya. Bunga mekar dan kupu-kupu yang beterbangan seolah tak mampu membawa senyum pada wajah cantik itu.
Adrien menghela napasnya, sebenarnya ia tak suka melihat Bella seperti ini, tapi ia juga tak bisa memungkiri adanya ketakutan dalam dirinya jika membiarkan wanita itu bebas. Bagaimana kalau Bella tak mau kembali ke sisinya setelah bertemu keluarganya? Apa yang harus Adrien lakukan jika hal seperti itu terjadi?
"Alpha." Adrien berbalik melihat Demian, betanya. Pria itulah yang dulu menangkap Bella dan harus menerima kemarahan Adrien karena berani menyakiti mate-nya.
"Ada apa?"
"Kami sudah memperkuat wilayah perbatasan...," Demian menggantung ucapannya, sedikit ragu saat mengucapkan kalimat selanjutnya, "rakyat juga bertanya, kapan Anda akan mengumumkan pengangkatan Luna Bella?"
Adrien terdiam, ia kembali menoleh ke arah Bella yang masih duduk di tempat yang sama. "Aku akan membicarakannya dengan Bella. Jika sudah selesai urusanmu, pergilah." Demian mengangguk hormat sebelum pergi dari ruang kerja Adrien.
***
Bella mendongak, melihat langit yang terbentang luas dan tanpa batas. Setiap hari ia melakukan hal ini, berharap Tuhan akan mendengar setiap tangisan dan harapannya. Meskipun keajaiban itu langka, tapi ia berharap menjadi salah satu orang yang beruntung untuk mendapatkannya.
Setiap membuka mata di pagi hari, Bella selalu berharap bahwa Adrien akan berubah pikiran dan mengabulkan permintaan sederhananya untuk bertemu dengan keluarga yang amat dirindukannya. Di sini tak ada telepon atau ponsel yang bisa digunakan Bella untuk menghubungi keluarganya. Ia benar-benar terisolasi dan tak tahu harus meminta bantuan pada siapa.
"Bella." Suara itu begitu familier di telinga Bella. Mungkin karena setiap hari ia mendengarnya, bahkan suara itulah yang wanita itu dengar saat pertama kali membuka mata.
Sentuhan lembut di wajahnya membuat Bella mendongak. Ditatapnya mata biru itu dengan tenang, ia berusaha menyembunyikan semua kesedihannya, Adrien selalu marah saat Bella terlihat sedih karena memikirkan keluarganya, dan Bella tak mau lagi menerima kemarahan tak jelas dari Adrien.
Adrien melepaskan tangannya dari wajah Bella, ia kemudian duduk di samping wanita itu. Keduanya tak ada yang berbicara, hanya diam menikmati suasana sore dengan pikiran yang jauh dari kata tenang. Pikiran mereka berdua bekerja dengan keras.
"Apa imbalannya jika aku membiarkanmu bertemu dengan keluargamu?" Bella terpaku sesaat, memastikan bahwa telinganya tak salah dengar. Bella menoleh, menatap Adrien yang sedari tadi tak melepaskan pandangannya dari wajah mate-nya itu.
"Apa yang kau mau dariku?" tanya Bella hati-hati. Ia tak mau menjanjikan sesuatu yang tak bisa dipenuhinya. Apakah harga dari kesempatan untuk bertemu dengan keluarganya begitu mahal?
"Bisa dibilang aku menginginkanmu, tapi tentu kau sudah tahu hal itu. Aku memiliki ragamu saat ini. Hanya saja, aku juga ingin lebih. Kau tentu tahu, kan? Bisakah kau memberiku kesempatan untuk mendapatkan hatimu, Ma Belle?"
Ya, ternyata harga kebebasan itu mahal. Bella terdiam, mulutnya tertutup rapat, otaknya merangkai berbagai pertanyaan untuk dirinya sendiri.
Sanggupkah ia menerima Adrien seutuhnya?
Mampukah dirinya yang hanya manusia biasa berdampingan dengan raja dari kaum werewolf?
Bisakah dirinya hidup bersama mereka, yang tentu saja memiliki hukum rimba?
"Adrien, aku memang ingin bertemu keluargaku, sangat ingin. Hanya saja, aku tak tahu apakah aku bisa membayar harga yang telah kau tentukan itu. Mungkin ini klise, tapi aku setuju dengan pernyataan bahwa hati tak bisa dipaksa. Aku tahu kau menginginkanku, bahkan menurutku keinginanmu itu sampai di tahap obsesi—"
"Aku hanya menawarkan ini sekali, kau mau atau tidak? Kau bertemu dengan keluargamu dan aku mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan hatimu. Sesederhana itu," ucap Adrien cepat.
Bella berpikir sejenak sebelum mengatakan keputusannya. Mungkin inilah risiko yang harus diambilnya, pikir Bella.
"Ya, kapan aku bertemu dengan mereka?"
Adrien tak dapat mencegah senyum yang terkembang di bibirnya. Ia mengangkat tubuh Bella, meletakkannya di pangkuannya. "Secepatnya," ujar Adrien.
Siapa pun yang sedang melewati taman itu bisa melihat kemesraan mereka. Hal itu menimbulkan sedikit kegaduhan di dalam kastel. Para pelayan saling berbisik sambil mengintip alpha dan luna mereka.
Adrien yang memiliki pendengaran tajam pun sebenarnya bisa mendengar suara mereka, tapi ia memilih untuk diam dan menikmati waktunya dengan Bella yang tenggelam dalam pelukannya.
Rona merah muncul di wajah Bella ketika merasakan napas hangat Adrien di lehernya, kecupan-kecupan kecil yang mendarat di sana, membangunkan sesuatu dalam dirinya. Desahan tak dapat ditahannya ketika Adrien mengisap lehernya.
"Keputusan yang bagus, Ma Belle."
***
"Adrien, kau mau ke mana?" tanya Bella saat melihat Adrien yang berpakaian rapi.
"Ada pekerjaan yang harus aku lakukan di kota, apa kau mau memesan sesuatu?"
Bella memainkan jari-jari tangannya. "Ehm, bolehkah aku ikut?"
"Tidak!" jawab Adrien dengan singkat dan tegas.
"Aku janji tidak akan keluar dari pengawasanmu," tawar Bella.
"Tidak, Bella. Aku tidak mau mengambil risiko."
"Tapi, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan di sini. Tak ada yang mau dekat denganku, aku tidak punya teman, tidak ada hiburan."
Adrien menghela napas sebelum mengambil keputusan yang mungkin akan disesalinya. "Baiklah, kau boleh ikut."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
King's Obsession
Hombres LoboBella tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena menuruti rasa penasarannya. ia hanya ingin tahu rahasia dibalik hutan lebat yang berada di kota barunya. tapi siapa sangka ia justru terjebak dalam takdir yang tak pernah disangkanya. "Jangan...