XVI. Bocah

1.1K 156 8
                                    

Minggu pagi di Taraju, Gue perlahan membuka mata, udara sejuk disini emang bikin mager sih. Tapi gue kagak mau juga rejeki gue dipatok ayam. "Hoamh..." gue angkat badan dari posisi terbaring jadi duduk selonjor.

"Willis gimana kabarnya ya?" tanya batin gue. Apaan sih kok gue peduli dia? Udah mending keluar kamar terus cari sarapan. "Neng...ai cep Willis kemana? Daritadi teh bibi gak liat si encep." sejenak gue teringat Willis yang gelisah karena mimpi ketemu almarhumah mamanya.

"Neng cari Willis sekarang ya bi..." resah dan gelisah gue sama Willis, gue takut dia kenapa-napa. Ya udah gue lari dari rumah Mang Udin buat nyari Willis.

Di sungai gak ada, di kebun teh gak ada, di rumah Mang Udin juga gak ada ya jelas orang dia ilang di rumah Mang Udin kok. Iih...Willis lo dimana sih? Coba cek jadwal hari ini deh, ngapain sih harusnya gue sama tuh bocah tengil

Setelah gue baca jadwal ternyata sekarang gue sama Willis itu cari tahu kehidupan anak-anak disini, gimana mereka main, gimana keseharian mereka, ya pokoknya gitu deh. Tapi Willisnya kok malah ilang sih?

Mungkin gak ya kalo dia udah duluan pergi? Gak ada salahnya kalo nyari ke tempat yang banyak anak-anak main kayaknya. 

~~~

Firasat gue ternyata bener , Willis asik main sama bocah di lapang. Cowok itu main kejar-kejaran sama bocah usia SD kelas 3-4an kayaknya. Awalnya gue cuma perhatiin Willis dari belakang tapi... 'DUG' satu bocah gak sengaja nabrak gue, "ADUH...." 

Willis nengok ke belakang, "Markonah?" Dia nyamperin gue, "Kamu gak apa-apa?" Dia nyodorin sebelah tangannya, "Sini!" Dia ngeraih tangan gue terus bantu tubuh gue berdiri. "Pasti mau ikut main ya?" 

"Eh?"

"Ayo sini main!" Willis narik gue sampai arena mereka bermain. "Adek-adek kak Willis punya temen nih, katanya dia mau ikut main. Boleh gak?" Hah Willis kok bisa akrab sama anak-anak? "Boleh atuh kang, ciee ini teh pasti kabogohnya ya?" kata salah satu bocah, "Eh bukan dek, bukan...kita cuma temen." sergah gue, dasar kids jaman now pikirannya udah cinta-cintaan.

"Emang kabogoh tuh apa sih?" tanya Willis, eh kalo gue kasih tahu artinya kabogoh itu pacar entar jadi berabe, "Udah gak penting, mending kita main aja gimana?"

"Hompipah alaium gambreng..." 

"Kang Willis jaga!"

"1...2...3...4..." Semua anak di lapang berpencar cari tempat sembunyi cepet-cepet sebelum Willis nyampe ke angka 50 ngitungnya. "Bancah..." sesaat Willis selesai ngitung sambil nutup matanya di pohon, gue tepukin tangan gue di pohon dan..."Hah?"

"Dasar gak ngerti, kamu jaga lagi karena kita menang!"

"Kok bisa?"

"Kalo saya bilang bancah berarti kamu kalah, udah sana jaga lagi!"

"Ih udahan ah, mending kejar-kejaran aja deh."

"Uuuh dasar payah..."

"Kena, kamu kucing!" Willis nyentuh tangan gue. 

"Kok curang?"

"Siapa yang curang kan tadi saya kucing ya berarti giliran kamu, dah..." Willis lari menjauh dari gue. "Eh kampret...Willis!!!" Gue kejar dia udah kaya film India aja sih, sampe ngumpet-ngumpet di bawah pohon.

"GUBRAAKKK!!" Gue jatuh tepat diatas tubuhnya Willis, "Cieee..." Suara para bocah, "Tuh kan teteh sama akangnya mah asik iindiaan, kitanya mah diantepin gini atuh ah..."

"Dasar kids jaman now, awas kalian ya..." Untuk mengalihkan perhatian gue kejar aja tuh gerombolan bocah, "Si teteh galak euy...lumpat boy...!!!" dengan cekatannya mereka pada lari.

~~~

"Hosh...hosh..." badan gue udah gak kuat main kejar-kejaran lagi, 'NYEES' kayak ada yang nempel di muka gue, adem banget rasanya, "AH seger..." kata gue, "Nih!" pas gue buka mata, "Wi..."

"Udah cepet minum ini, nanti pingsan lagi!" Willis yang nempelin minuman dingin di muka gue ternyata. "Ah...geser dikit dong!" pinta Willis, "Hmm..." gue ngegeser dengan muka ketus, kemudian Willis duduk di samping gue.

"Ah seru juga main sama anak-anak sini ternyata."

"Ini belum seberapa Wil, mereka tuh biasanya main di lumpur, ikut mandiin kebo bareng mang Udinlah, perang-perangan pake senjata sederhana buatan mereka, atau main layangan di lapang ini ni"

"O ya? Boleh dong saya ikut hm? Jujur seneng aja liat anak-anak sini yang masih main permainan tradisional dan ya gak ketergantungan sama teknologi jaman sekarang."

"Ya udah kita pulang yuk! Capek nih... " ucap gue, "OK!" Willis tersenyum manis, gue merasa gue ngeliat sisi lain dari seorang Willis Theodore Handoko.

"Gedubrak..." suara orang jatuh, "Eeh dek..." dengan sigap Willis langsung nolong anak itu, "Mana yang sakit dek?"

"Hiks...hiks..." bocah itu nangis, "Peurih..."

"Sini...sini...saya obatin ya dek.." Gue cuma bisa diem disitu, Willis ternyata care banget sama bocah. Sorry gue salah nilai lo Wil.

~~~

Malam pun tiba, suara jangkrik dan udara malam yang dingin semakin terasa jika alam disini masih asri tanpa polusi dan bisingnya kendaraan di perkotaan. Gue sendirian di kamar sambil melihat cahaya bulan yang menerangi malam.

Tiba-tiba gue mencium wangi bakar jagung dari luar, "KRUEEEK..." perut gue mendadak lapar karena aroma yang emang kuat banget ini. Akhirnya gue keluar dari kamar kemudian ngikutin aroma bakar jagungnya. "Oh...jadi cep Willis teh gitu..." sama-sama gue denger suara Mang Udin lagi ngobrol sama Willis.

"Pak kayaknya itu jagungnya harus dibalikan deh nanti gosong!"

"Oh iya, encep bisa tolongin saya dulukan mamang mau ambil mantéga deui ini udah mau abis." Mang Udin tinggalin Willis seorang bersama asap dari jagung bakarnya.

"Hai Wil..." gue memberanikan diri untuk muncul di depan Willis, "Markonah? Sini!" Gue deketin Willis, "Sini duduk!" Gue pun duduk pinggir Willis.

"Mau jagung?" tawar Willis, "Buat kamu aja."

"Enggak, ini mumpung anget nih!" Willis kasih jagungnya ke gue, "Makasih." ucap gue.

"Eh Wil, saya boleh nanya gak?"

"Nanya apa?"

"Kenapa sih kamu kok kelihatannya seneng banget sama anak-anak, terus keliatannya kamu tuh care banget sama mereka."

"Oh itu..." Willis tersenyum menatap langit, "Saya cuma gak mau mereka kurang kasih sayang kayak saya aja. Saya gak mau mereka broken gitu aja, anak-anak itu generasi penerus kita. Jadi, saya gak mau ngancurin hidup mereka. Saya gak mau mereka kurung terus, mereka pantas bahagia." Jelasnya, "Sama seperti apa yang mama saya lakukan dulu, meski udah gak ada kasih sayang mama tetap ada di hati dan itu alasan kenapa saya nyaman deket kamu."

"Maksudnya kamu nganggap saya ibu-ibu?"

"Bukan gitu sih, ada tempat tersendiri buat kamu."

"Maksudnya apa?"

"Maksudnya... Itu ada biji jagung di bibir kamu." Jari Willis ngambil biji jagung yang ada di deket bibir gue, wajahnya deket banget sama wajah gue dan itu bikin...

"Deg...Deg...Deg...Deg..." Jantung gue berdetak lebih kencang.

To Be Countinued...

Suka? Mau lanjut?

Vote dan Comment dong ya...

The Another Boss Baby Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang