Charity Case

3.4K 358 15
                                    



Sandra

Romano Private School adalah sekolah bergengsi di Midea. Hanya anak-anak dari kalangan atas yang bisa mengenyam edukasi di sini.

Aku?

Iya. Aku juga bersekolah di sini. Tapi, bukan karena orangtuaku mampu. Sebaliknya, aku belajar di sini menggunakan beasiswa. Bukan beasiswa siswa cerdas berprestasi. Sungguh, kemampuan akademisku biasa saja. Aku menjadi murid di sekolah ini sebagai murid tak mampu.

Charity case. Itulah aku.

Banyak orang yang mungkin akan menilai aku beruntung. Bagaimana tidak, aku... seorang gadis yang tak jelas asal usulnya, hidup di sebuah trailer park dapat kesempatan mengenyam pendidikan berkualitas.

Umm....

Mereka tak tahu. Ada harga yang harus kubayar dengan memperoleh fasilitas itu.

Ikhlas hidup dalam pengucilan. Tak ada siapa pun yang mau berteman denganku. Hanya itu? Tentu saja tidak. Bila tidak waspada, aku bisa jadi sasaran bully setiap hari.

Tak ada yang mengerti perasaanku. Sama sekali... kecuali Angel.

Meski menyandang nama belakang Romano, bukan berarti hidupnya aman dari para bullying.

Semua orang juga tahu, Angel bukan anak kandung billionaire Luca Romano. Seantero negeri juga paham, kalau lelaki tampan itu masih bujangan.

Kisah tragis ibunya Angel yang meninggal dalam kecelakaan pesawat sempat mewarnai pemberitaan media massa. Termasuk, bagaimana mereka berspekulasi soal nasib putrinya, Angela Florence.

Saat pengusaha playboy itu memutuskan mengadopsinya, seluruh media massa berlomba-lomba memperoleh hak wawancara eksklusif. Menyebut betapa mulianya sang milyader gagah itu.

Tanpa disadari, hal ini berdampak pada kehidupan Angel.

Meski para guru menghormatinya sebagai bagian dari keluarga Romano, tidak demikian halnya para murid.

Mereka kerap mengolo-ngoloknya, sebagaimana mereka mencemoohku.

Menyebutnya sebagai charity case. Kotak amal.

Mungkin dari situ, persahabatan kami terjalin.

"Hari ini kamu bawa bekal makan siang apa?" tanya Angel padaku di taman belakang gedung sekolah.

Di saat murid lainnya makan di kafetaria, kami seperti biasa memilih menyepi di sini.

Aku mengangkat bahu. "Aku sudah cukup makan saat sarapan tadi. Aku masih kenyang. Tapi aku punya ini," tanyaku memperlihatkan botol minumku.

Angel mengerutkan hidung dan mulutnya, dia tahu aku berbohong.

Lalu, gadis berambut pirang itu mengeluarkan kotak makan plastik dari tasnya.

"Kita berbagi makanan, ya...," ajaknya sambil membuka kotak plastiknya.

Seketika aku melihat sepotong besar pastrami yang terlihat gemuk dan menggiurkan. Perutku seketika terasa lapar.

"Umm... nggak usah. Kamu saja makan yang kenyang," jawabku berusaha menahan gejolak untuk merebut kotak makanan itu dari Angel.

Gadis tinggi semampai ini sudah terlalu sering membagi makan siangnya denganku. Rasanya, aku malu.

"Halah, kamu nggak usah pura-pura, deh. Santai aja, yuk... nih aku potong yah...," katanya sambil berusaha memotong roti pastrami menggunakan pisau makan dan garpu yang dibekalnya dari rumah.

"Bagaimana kamu bisa lolos dari para penjaga pintu masuk saat membawa pisau itu," tanyaku heran.

Setiap pagi, di gate masuk, terdapat mesin metal detector. Memastikan tak ada siswa yang membawa senjata.

Hal ini bukan dilakukan tanpa alasan.

Anak-anak orang kaya, bukan berarti beradab. Sama dengan anak-anak dari jalanan, mereka pun kadang memiliki hasrat berkelahi. Tahun lalu, perkelahian itu menelan korban jiwa, setelah salah satu murid diam-diam membawa pistol dan menembakannya begitu saja ke anak lain yang menjadi lawannya.

Hal itu menuai perhatian luas dari media massa. Mengaitkannya dengan konspirasi politik. Maklum, anak yang saling bertikai tersebut memiliki ayah yang berseberangan haluan politiknya.

Angel menyeringaikan senyum menatap wajah bingungku.

"Pisau ini bukan senjata. Ini pisau makan. Lagi pula, jangan lupa... aku seorang Romano," ucapnya dengan nada bangga.

Aku menggeleng sambil menerima roti darinya.

Whatever.

Lalu aku mulai membuka mulut hendak menyantap pastrami.

Mataku terpejam saat segarnya roti bercampur daging asap berkualitas, selada dan tomat segar, berpadu dengan mayonnaise merek ternama masuk ke mulutku.

Lezattnyaaa.

Kuyakin, pengusaha kaya sekelas Luca Romano, hanya membeli bahan makanan berkualitas terbaik, dari brand ternama.

"Pulang sekolah nanti, kamu mau main ke rumah?" tanyanya setelah menelan sepotong pastrami.

Aku menggeleng. Tidak.

"Kenapa? Daddy tidak akan pulang setidaknya sampai jam 6 malam."

Angel tahu bahwa aku enggan ke rumahnya, karena sungkan bertemu ayah angkatnya.

Entahlah. Meski wajahnya sering kulihat di berbagai media massa, tapi untuk bertandang ke rumahnya, apalagi bertemu langsung, rasanya aku tak berani.

"Sandra, kenapa?" tanya Angel lagi, saat aku belum juga memberi jawaban.

"Enggak, ah... lain kali saja."

"Lain kali? Kapan? Kurang dari setahun lagi kita bakal lulus. Kamu nggak pernah sekali pun mau datang ke rumah," katanya sambil cemberut.

"Nanti saja kalau kamu sudah lulus, terus pindah. Tinggal di apartemen sendiri. Nah, kalau itu aku mau. Bahkan mungkin sesekali aku numpang nginap, yah?" godaku.

Matanya membesar dengan binar ceria.

"Bolehhh.... Atau nanti, kamu tinggal sama aku aja. Kita jadi roommate, gimana?"

Yeah right. As if, I could afford to share the bills.

Aku yakin selepas lulus sekolah nanti, Luca Romano tak mungkin membiarkan putri angkatnya tinggal di sembarang apartemen.

Hanya yang terbaik untuk anggota keluarga Romano.

"Sandra? Iya?"

Aku tersenyum. "Gampanglah itu, bisa diatur," kataku, berbohong.

Tentu saja dalam hati aku yakin, itu tidak mungkin.

Luca #1 Romano Brothers SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang