Panik

2.6K 339 13
                                    

Sandra.

Aku meneguk sisa jus jeruk dingin dari gelas yang kupegang. Setelah itu aku mengusap bibir. Mataku menemukan mata Angel yang sedari tadi menatapku sambil tersenyum.

"Kamu haus, ya? Mau ditambah lagi orange juice nya?" tanyanya dengan tulus.

Aku menggeleng.

"Tidak terima kasih, Angel."

"Bagaimana dengan chocolate cake nya? Mau lagi?"

Aku menatap piring kosong yang tadi berisi sepotong besar chocolate cake pemberian Angel.

"Sandra, mau sepotong lagi ya?"

"Ummm... enggak, Angel. Makasih."

"Yakin?"

Tidak. Aku masih menginginkan lebih banyak chocolate cake, dan mungkin segelas besar susu segar dingin.

"Iya, aku sudah kenyang."

Wajah Angel berbinar senang sambil mengangguk. Senyum seolah enggan pergi dari wajah cantiknya.

"Beruntung sekali aku bisa menemukanmu tadi, lebih beruntung lagi karena pada akhirnya aku bisa meyakinkanmu untuk pulang bersamaku," ucapnya senang.

Dia beruntung?

Kebalikannya kali....

Aku yang teramat beruntung. Saat menyusuri pedestrian di sepanjang Midea Main Street tak tentu arah, Angel menemukanku.

Rupanya dia tadi sedang mengikuti les balet saat dari dinding kaca lantai dua gedung itu dia melihatku berjalan di seberang jalan.

Entah apa yang ada dipikiran gadis setinggi 170 senti itu saat memutuskan berlari menuju aku, lengkap dengan pakaian baletnya.

Tanpa mengindahkan orang-orang di sekitaran jalan saat itu, dia menyapaku dengan antusias, lalu memintaku bertandang ke rumahnya.

"Jangan khawatir. Daddy tidak akan pulang sampai setidaknya jam 8an malam. Mungkin juga lebih. Ingat, daddy itu seorang pria lajang. Dia memiliki kehidupannya sendiri selain mengurus bisnisnya, dan menjadi ayahku," ujarnya siang tadi, masih berupaya meyakinkanku.

Pada akhirnya aku setuju.

Rumah yang dimaksud berada di Midea Green Hills. Sebuah kawasan perbukitan yang asri dan dikenal pula sebagai area hunian kaum elite kota ini.

Berada di dalamnya, aku merasa bagaikan tunawisma kelaparan yang mengendap-endap, berharap bisa mengais makanan bekas.

Namun....

Angel memperlakukanku seolah aku adalah tamu istimewa. Dengan antusias, dia memintaku masuk dan memberiku makanan.

Aku menatapnya. Menyimak perkataannya. Dia terus berceloteh soal hobinya berkreasi mengolah bahan makanan, menjadi beragam hidangan ala Angel.

Lalu....

Dia tiba-tiba berhenti bicara. Wajahnya menoleh ke arah ruang utama.

"What is it?" tanyaku bingung.

"Umm... aku mendengar suara mobil daddy. Aneh. Masih sore kok sudah pulang," gumamnya.

Apa?

Benarkah?

Kok aku nggak dengar suara mesin mobil?

Ah, mungkin mobil orang kaya beda. Mesinnya senyap. Angel bisa mendengar karena tiap hari tinggal di sini, kupingnya jadi lebih sensitif.

"Umm, Angel... dimana letak pintu belakang?"

Wajahnya kembali menoleh padaku. Kali ini rautnya tampak bingung.

"Kenapa?"

"Aku harus pergi," kataku panik.

"Tapi..."

Aku berdiri dari duduk. "Please Angel... Please... Tolong aku, aku harus pergi secepatnya... Please," ibaku, masih dengan panik yang kini terasa menggila.

Luca #1 Romano Brothers SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang