Rhonda & Gabe

2.8K 339 6
                                    

         

Aku duduk dalam bingung di sebuah kursi kereta bawah tanah. Ke mana aku akan pergi?

Kereta berhenti di koridor halte Main Street Midea. Aku turun. Rute sama yang biasanya kulalui untuk ke sekolah. Beberapa langkah setelah ke luar dari kereta, mataku membelalak melihat teman sekerjaku di kedai makan Gipsy Food Corner.

Gabe dan Rhonda tampak berdiri di salah satu dinding tiang sedang berbincang. Entah apa. Kemudian mata mereka mulai menemukanku.

Senyum seketika menghias bibir mereka.

Keningku berkerut menatap aura yang terpancar dari wajah keduanya yang menyiratkan... kebuasan. Ada sesuatu yang jahat tersirat dari raut mereka.

Apa?

Entahlah.

Gabe adalah lelaki usia awal 30 tahunan. Perawakannya kurus, tingginya cukupan. Rambutnya hitam lurus sebahu, yang selalu dia ikat ke belakang. Bola matanya sehitam burung gagak. Kulitnya putih pucat. Dia sering terdengar menarik napas seperti orang sedang flu. Awal perkenalan, kupikir lelaki itu adalah seorang pecandu.

Tapi, sifatnya selalu ramah. Tidak banyak bicara. Rajin bekerja sebagai main-course chef. Tidak menampakkan gelagat aneh, khas para pecandu. Aku tahu bedanya. Sebab, aku mengenal seorang junky cukup lama. Ibuku. Sampai dia tewas akibat over dosis saat aku berusia 13 tahun.

Rhonda, adalah perempuan usia 40 tahunan. Seperti Gabe, dia juga memiliki tipe kulit pucat, menyerupai vampire dalam film Twilight.

            Well, okay... I over reacting.

Tidak sepucat itu, tentu.

Bola matanya juga hitam pekat. Berbeda dengan Gabe, perempuan berambut hitam panjang dibelah tengah itu bertubuh agak tambun, dan tidak terlalu tinggi. Setidaknya, tingginya di bawahku beberapa senti. Tinggiku sendiri adalah 160 centimeter.

Meski keduanya selalu bersikap ramah padaku, bukan berarti aku menerima rasa hangat. Sebaliknya, sikap baik mereka selalu terasa... palsu.

Sepertinya sebuah kepura-puraan belaka.

"Sandra, Girl. Can't believe we see you here," ucap Rhonda ramah.

            But....

It feels wrong.

Somehow, I can tell it was a lie.

"Umm...," gumamku, masih berdiri sekira dua langkah dari mereka.

Entahlah, rasanya aku enggan untuk mendekat.

            "What's wrong? Come here," ajak Gabe sambil menggerakan jemarinya, mengisyaratkan aku untuk mendekat.

Dengan meragu, aku memenuhi undangannya.

"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanyaku.

"Ahh... tak ada yang penting. Rasanya ingin saja janjian ketemuan untuk bepergian," ujar Rhonda dengan santai.

            "Yeah? Where?" kataku, menyelidik.

"Apanya?" kali ini Gabe yang bicara.

"Ke mana kalian berencana untuk pergi?"

            "Well...," jawab Gabe, bola matanya membesar menatap Rhonda, seolah meminta bantuan untuk menjawab pertanyaanku.

            "Don't know yet, actually. Pokoknya kami berasa ingin bepergian saja. tujuannnya kemana, belum ditentukan, sih...," jawab Rhonda sambil tertawa canggung.

Hah?

            Interesting.

No... wait....

Mencurigakan, lebih tepatnya.

            "Look, nice to see you both... I better go," kataku berbohong, untuk pamit, hatiku mengatakan secepatnya aku harus pergi meninggalkan mereka.

            "Wait, Girl," kata Rhonda sambil meraih pergelangan tangan kiriku.

Spontan aku menariknya. "Let go!"

Seketika mata Rhonda terlihat menyelidik. Keningnya berkerut. Sementara Gabe melongo melihat sikap perlawananku.

            "Well... well... looks what she became, Gab," gumam Rhonda, pelan. Perkataan itu sepertinya dia tujukan hanya untuk Gabe, tapi aku bisa mendengarnya.

"Katakan padaku, Sandra... kau tidak memakan bekal yang kubuatkan khusus untukmu?" tanya Gabe, dengan mata menyelidik.

Tidak pernah.

"Kenapa? Kok jadi bicara soal makanan?" elakku.

            "She didn't," gumam Rhonda lagi dengan mata menyipit, menyiratkan kekesalan. Bukan pertanyaan, kali ini pernyatan. Seolah dia mengetahui suatu kenyataan yang tidak dia sukai.

            "Tsk... tsk... tsk... such a rebellion are you?" ujar Gabby.

            Urgh, creepy.

Aku menggeleng.

"Umm... aku tidak tahu maksud pembicaraan kalian. Aku harus pergi," ujarku sambil melangkah mundur hendak beranjak.

"Memangnya mau pergi ke mana? Setelah apa yang terjadi di Broken Curse, kamu tidak mempunyai siapa-siapa lagi untuk dituju," ujar Rhonda dengan wajah jahat.

Keningku berkerut.

"Dari mana kalian tahu?" kataku bingung.

Gabby tertawa kering. "Sandra, Girl... there's a lot of things we know, that you don't," katanya dengan nada mengolok.

That's it!

Tanpa berpikir lagi, aku segera membalikan badan untuk bergegas meninggalkan mereka.

            "It's not over yet... it won't ever over. Not until, there is no more Romano left here in this world," kata Rhonda, diwarnai tawa Gabe.

Sinting.

Apa maksud mereka?

Luca #1 Romano Brothers SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang