1

7.8K 417 21
                                    

Bunyi keran air dari kamar mandi membangunkan aku dari tidurku. Sambil mengerdip-ngerdipkan mata kuperhatikan sekelilimg kamar.

Lalu kulirik weker di meja kecil samping tempat tidur.
Pukul 24.00. Aku mengernyitkan keningku.

Sontak aku tersadar Cinta tidak ada di sampingku. Aku melompat dari tempat tidur dan segera berlari ke sumber suara.

Di depan pintu kamar hampir saja aku menabrak bunda yang rupanya juga terbangun karena suara itu.

Kami saling menatap panik dan segera berlari ke dapur. Sesosok tubuh kecil tengah jongkok di lantai sambil menatap keran air. Wajah polos itu menoleh ke arah kami sambil tersenyum.

"Cinta pipis, ma....," katanya lugu.

Aku menarik napas lega.

"Kenapa tidak bangunkan mama?"

Aku segera meraih gayung lalu diceboknya bocah kecil itu.

"Cinta kan sudah besal. Cinta bisa sendili," jawab bocah itu.

"Sayang....., lantai kamar mandi itu licin." Aku hendak membantu bocah itu memakai celananya, tapi si kecil itu segera mundur dua langkah.

"Cinta bisa sendili kok."

Terpaksa aku hanya bisa membiarkan Cinta yang berusaha menarik celananya dengan susah payah.

Agak miring memang. Tapi bocah itu tampak puas.

Segera kuraih tangan bocah itu lalu kugendong menuju kamar. Bunda mengikuti kami dari belakang.

"Sama nenek aja bobonya, ya?"
ajak bunda sambil mengulurkan tangannya ke arah Cinta.

Cinta menggeleng. Dipeluknya leherku dengan kuat sambil meletakkan kepalanya di bahuku dengan manja. Aku balas memeluknya erat dengan penuh kasih. Ah, cinta. Kamu hampir membuat jantung mama lepas tadi, batinku lega.

"Bunda tidur saja," kataku pada Bunda. Beberapa jam lagi tiba waktu subuh. Bunda harus banyak istirahat." Bunda mengangguk. Matakumengikuti tubuh ringkih itu dengan hati pilu.

Bunda telah banyak berubah. Tubuhnya yang dulu bagus. Gemuk padat, kini hilang termakan usia dan berbagai jenis penyakit yang datang silih berganti.

Bunda sering sakit-sakitan sejak ayah meninggal. Ah, ayah! Kepergianmu banyak membawa perubahan dalam hidup kami. Karena kepergianmu itulah, juga telah membawa Cinta dalam dekapanku kini.

Aku merebahkan tubuh Cinta ke ranjang. Lalu kuambil selimut untuk menutupi tubuhnya. Tiba-tiba seraut wajah cantik berkelebat di pelupuk mataku. Aku mendesah.

Cinta telah tertidur pulas kini.
Aku mengusap kepala bocah kecil itu penuh kasih. Kuperhatikan wajah Cinta dengan seksama.

Bibir yang kecil.... persis dengan punya mbak Widya, wajah cantik yang tadi sempat melintas di kepalaku.

Mukanya yang bulat karena pipinya yang tembem lagi-lagi mirip mbak Widya.

Aku sadar tidak ada sedikitpun dalam diri Cinta yang mirip denganku.

Tentu saja!

Karena Cinta bukan darah dagingku. Cinta adalah buah dari perbuatan terlarang dari kedua orang tuanya. Mamanya, Widya Purnomo, majikan tempatku dulu bekerja dan.....Ah!

Aku mendesah karena tak tahu siapa ayah Cinta. Jika mengingat kejadian enam tahun silam dadaku terasa sesak. Karena itu mengingatkanku pada perjuanganku melawan kegetiran hidup yang aku alami.

Lalu seperti sebuah layar film, peristiwa lima tahun silam kembali datang.

* * *

LIMA TAHUN YANG LALU.

Aku,Kamu Dan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang