Aku membaca tulisan yang besar pada sebuah papan nama yang baru didirikan di depan rumah Pak Kasim yang baru dikontrak saat sedang melintas hendak ke sekolah tempatku mengajar.
Walaupun aku tidak sempat membaca semuanya, tapi membuat aku jadi berpikir tentang nama perusahaan kontraktor tersebut. Aku merasa seperti pernah mendengar nama itu, PT. ADI PRIMA PERKASA. Aku mencoba mengingat.
Lalu Seraut wajah yang yang tidak terlalu jelas lagi dalam ingatanku tiba-tiba muncul menjawab pertanyaan yang ada dalam kepalaku.
Kalau tidak salah, itu perusahaan omnya Rina, Farid. Tapi apa mungkin?
Perusahaan Farid kan di Makassar. Mungkinkah dia mendapat proyek di sini. Ah, tidak mungkin, kataku di hati. Tapi bisa saja itu terjadi, bisik hatiku yang lain.
Oo my god!
Kalau memang benar, berarti aku akan bertemu dengan orang itu lagi, karena kami kini bertetangga. Aduuh membayangkannya saja membuatku muak.
Bunyi klakson yang tiba-tiba membuatku menoleh. Mobil avanza yang sering kulihat di depan mess ada di belakangku.
Seseorang yang amat kukenal melambai-lambaikan tangannya ke arahku. Rina! Seperti tak percaya aku melambatkan motorku. Rina berbalik menoleh ke sopir mobilnya. Rupanya dia meminta untuk berhenti. Aku pun demikian, segera menepikan mio-ku.
"Daniar! " teriak Rina sambil melompat turun. Rina berlari memelukku. Aku dibuat terperanjat. Ternyata benar. Rina ada di sini. Berarti benar pikiranku tadi. Itu perusahaan Farid.
Kupeluk sahabatku itu dengan penuh kerinduan. Lalu kami saling bertanya kabar. Beberapa pasang mata dari dalam mobil sedang memperhatikan kami, membuat kami tersadar, kami tidak bisa berlama-lama, karena kami harus ke tempat tugas masing-masing. Aku harus segera mengajar sedangkan Rina harus segera ke lapangan.
Sungguh pertemuan yang tidak di duga. Aku tidak pernah berpikir akan bertemu dengan Rina di sini. Aku berpikir demikian karena latar pekerjaan kami berbeda dan aku dulu sengaja meninggalkan tempat kelahiranku, Ambon hanya untuk menjauh dari orang-orang yang kukenal.
Pulang dari kuliah di Makassar dengan membawa seorang bayi tentu membuat para tetangga dan kerabatku di Ambon bertanya-tanya. Mereka tidak akan mungkin percaya begitu saja bila pun aku menceritakannya. Masih kuingat tatapan-tatapan sinis dan merendahkan yang keluargaku terima. Aku kasihan pada bunda dan Airin. Sehingga aku pun berani mengambil keputusan meninggalkan Ambon dengan mencoba menjadi guru di sini. Untunglah Yang Maha Kuasa merestui langkahku.
Tapi cobaan tidak berhenti di situ saja. Di desa ini aku dikenal sebagai janda beranak satu. Aku pernah ditanya tentang keberadaan papa Cinta, dan aku hanya bisa terdiam dan mencoba tersenyum. Untung warga di sini tidak terlalu usil untuk terus bertanya. Tidak tahu, mungkin saja di luar aku menjadi bahan gunjingan. Aku tak peduli.
***
Aku menghempaskan tubuhku ke ranjang setelah mendudukan Cinta terlebih dahulu. Tadi bocah itu menyambutku waktu pulang di pintu, ingin digendong. Walau masih capek tapi aku senang. Rasa letih yang kubawa tadi sontak hilang melihat kemanjaan Cinta.
Cinta ikut merebahkan tubuhnya. Tapi bukan di sampingku tapi di atas tubuhku. Aku tersenyum. Kubelai rambutnya yang tebal. Cinta menatapku dengan mata polosnya.
"Ada apa? Kok mama diliatin terus dari tadi?" tanyaku.
"Mama capek ya?" Cinta balik bertanya tanpa menjawab pertanyaanku.
Aku menggeleng lalu memeluknya.
"Cinta sudah makan?" Aku segera bangkit.
"Sudah, mah. Tapi Cinta mau temani mama makan," kata Cinta sambil ikut bangkit. Tapi tiba-tiba dia menyambung," Eh Cinta mau minum susu saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku,Kamu Dan Cinta
RomanceLima tahun lalu Daniar bekerja sebagai pembantu demi membiayai skripsi dan biaya hidup bunda dan adiknya Airin di rumah Widya Purnomo, wanita pengusaha yang cantik dan masih single. Di sana Daniar bertemu dengan Randu, adik Widya yang kasar dan ding...