2

3.4K 357 1
                                    


Aku duduk di pinggir kolam sambil pandanganku tertuju jauh ke depan. Di seberang kolam lewat jendela yang terbuat dari kaca aku bisa melihat Ibu Meike tengah tertidur pulas di kamarnya. Kamarnya bersebelahan dengan kolam renang jadi aku bisa mengawasinya dari sini.

Air kolam yang tenang jadi beriak tatkala aku mencelupkan kakiku ke dalam.Aku memajukan wajahku sedikit ke depan mencoba bercermin dalam air.

Kembali aku menarik napas berat. Rambutku yang dulu sering kugerai kini kuikat ke belakang sedikit berantakan. Aku seperti tidak mempunyai semangat hidup.

Kalau bukan karena bunda dan Airin, aku tidak akan bisa bertahan dengan pekerjaanku kini.

Wajah almarhum ayah tiba-tiba berkelebat di pelupuk mataku. Ayahku yang terkasih, mengapa engkau begitu cepat pergi, batinku sedih.

Kembali terbayang masa-masa indah saat ayahku masih hidup.

Ayah sangat memanjakan aku dan adikku, Airin. Masih jelas dalam ingatanku kenangan manis kebersamaan kami.

Sampai suatu hari Airin meneleponku.

"Pulang, Kak. Ayah sudah meninggal." Begitu suara Airin di seberang ketika itu yang membuat badanku lemas seketika. Mataku basah. Hampir saja aku terkulai kalau saja Airin tidak menambahkan,

" Bunda pingsan!'' suaranya tersedu keras. Dua kata itu membuatku tersentak. Aku harus kuat. Aku tidak boleh pingsan di sini. Bundaku sangat rapuh. Sebagai anak sulung aku harus tegar.

"Daniar...kamu menangis?"
Suara Pak Karim yang tiba-tiba membuatku tersentak.

Bayangan ayah, bunda dan Airin langsung terbang seketika. Lelaki tua itu menyentuh kepalaku. Kuseka air mataku, mencoba tersenyum.

Aku menoleh ke belakang.
Tapi sekilas aku seperti melihat seseorang di balik jendela kaca dalam kamar Ibu Meike.

Aku segera berdiri berlari masuk lewat pintu kaca yang menembus ruang keluarga menuju kamar Ibu Meike. Pak Karim memanggil namaku, tapi aku hanya mengangkat tanganku memberi kode bahwa aku akan segera kembali.

Sosok itu memang ada. Tengah duduk membelakangiku sedang mengamati Ibu Meike yang sedang pulas. Jantungku berdegup kencang.

"Ss...ssiapa kamu?"

Dengan suara pelan aku coba memberanikan diri bertanya. Sosok itu menoleh. Menatapku tajam tanpa ekspresi. Aku langsung tersadar. Wajahitu mirip dengan foto yang ada di atas meja kecil samping ranjangnya Ibu Meike.

Randu!

Hatiku langsung ciut. Dialah adik mbak Widya.

"Kamu siapa?" Randu balik bertanyatanpa menghiraukan pertanyaanku.

"Aku yang merawat....," mataku tertuju pada tubuh Ibu Meike.

Namun sebelum aku melengkapi kalimatku Randu sudah menyela sinis,

"Pembantu baru?"

Aku menelan ludah. Randu berdiri. Diperhatikannya aku dari kaki sampai kepala sama seperti kakaknya dulu, bedanya tatapannya terasa sinis sekali. Harga diriku muncul tiba-tiba.

"Ada yang salah?" Aku balik menatapnya. Randu memicingkan matanya. Ada kilat marah di sana. Hatiku gentar, namun entah mengapa mataku tetap menantangnya.

"Jangan bikin ribut di sini. Nanti Ibu bangun."

Aku segera berbalik hendak keluar. Randu menarik lenganku. Dicengkeramnya dengan kuat. Aku meringis. Hampir saja aku berteriak kalau tidak kuingat mamanya yang tengah tertidur. Randu melepaskan cengkeramannya.

Aku,Kamu Dan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang