Aku membuka mataku saat merasakan sebuah sentuhan pada tanganku. Suasana yang serba putih membuatku sempat berpikir tapi akhirnya menyadari di mana aku berada. Aku menadapati wajah Randu tepat berada di sampingku. Aku mencoba bangkit. Aku ingat tadi aku bukan berada dalam ruangan ini. Selang infus yang tertarik karena gerakan tanganku membuatku meringis. Aku baru sadar kalau ternyata aku diinfus.
"Apa yang terjadi?" kataku linglung
"Jangan banyak bergerak dulu!" Randu mencegahku.
"Apa yang terjadi?" Aku mengulang pertanyaanku.
"Kamu tadi pingsan. Seharusnya tadi kamu istirahat saja. Mengapa kamu tidak mendengar kata suster tadi," jelas Randu gusar.
Aku mendesah. Aku jadi ingat kini. Karena lama menunggu kabar tentang kondisi Cinta, aku tadi mencoba keluar mencari tahu. Selanjutnya aku tidak ingat apa-apa lagi.
"Cinta...bagaimana dia?" tanyaku
"Cinta tidak apa-apa. Kondisinya sudah mulai stabil," jelas Randu.
"Aku ingin ke sana." Aku mencoba bangkit.
"Sabar, Niar," cegah Randu.
"Cinta sekarang sedang tidur. Kamu makan dulu." Nada suara Randu begitu tegas. Membuatku kembali teringat ke masa lalu. Aku memejamkan mataku sejenak.
Tiba-tiba aku merasa badanku terangkat jadi sedikit tegak. Dan Randu sudah ada di sampingku dengan sepiring nasi lengkap dengan ayam goreng dan sup.
Randu tidak memberi kesempatan aku bicara. Laki-laki itu langsung mendekatkan suapan pertama ke mulutku. Aku terpaksa membuka mulutku saat mendapati sorot matanya yang tajam.
Ekspresi itu....ekspresi yang sangat kukenal jika Randu tidak suka dibantah.
Sungguh aku tidak pernah membayangkan kalau aku akan mengalami hal ini. Disuapi Randu, jika mengingat kami dulu bagaimana. Tidak sadar aku menghela napas dalam-dalam.
"Kenapa?" Randu memicingkan matanya. Ada garis tipis tertarik di sudut bibirnya. Wajahku tiba-tiba terasa menghangat. Aku menunduk. Mungkinkah Randu juga berpikiran sama denganku?
"Biar aku saja. Aku bisa sendiri," kataku sambil mengulurkan tanganku kepadanya.
Randu bergeming. Seperti tak mendengar kata-kataku, dia terus menyendok nasi dan membawanya ke mulutku. Dan lagi-lagi aku hanya bisa membuka mulutku. Aku memberanikan diri menatapnya.
Seorang perawat masuk.
Syukurlah!
Aku bisa memintanya melepas infus di tanganku. Perawat itu terdiam sesaat sambil menatapku sejenak setelah aku bicara. Aku memberi isyarat dengan mengangkat kedua bahuku sambil melebarkan sedikit mataku. Mencoba memberi tahu kalau aku tidak apa-apa kini.
Akhirnya perawat itu melepaskan infus dari tanganku. Aku menarik napas lega. Memang kini aku sudah merasa sedikit baikan. Aku menatap piring yang ada di tangan Randu lalu mengulurkan tanganku memintanya. Aku harus makan. Aku tidak ingin pingsan lagi.
"Biar aku saja." Randu tidak menyerahkan piring yang kuminta.
"Tapi...,Pak," protesku lirih.
Randu mendelikkan matanya. Hatiku tercekat. Tapi aku harus makan sendiri, batinku di hati.
"Terima kasih," ucapku kemudian. "Aku bisa sendiri."
Aku tidak membuka mulutku saat Randu mengulurkan lagi tangannya.
"Aku bilang aku bisa sendiri," kataku bersikeras. Sungguh aku merasa tak nyaman.
Randu menarik napas dalam-dalam. "Kau masih marah padaku?" tanyanya tiba-tiba. Aku tertegun. Sorot matanya tampak terluka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku,Kamu Dan Cinta
RomanceLima tahun lalu Daniar bekerja sebagai pembantu demi membiayai skripsi dan biaya hidup bunda dan adiknya Airin di rumah Widya Purnomo, wanita pengusaha yang cantik dan masih single. Di sana Daniar bertemu dengan Randu, adik Widya yang kasar dan ding...