Tanganku gemetar saat memencet nomor PIN kartu Atm-ku. Sms dari mbak Widya tadi yang memberitahu kalau dia sudah mentransfer gaji pertamaku membuat dadaku seperti mau meletus saking gembiranya. Satu bulan sudah aku bekerja sebagai pembantu. Ada haru yang amat sangat waktu aku melihat angka saldo tabunganku yang bertambah satu juta lima ratus ribu. Segera aku mentransfer tujuh ratus ribu ke rekening bunda.
Maafkan aku, bunda! Batinku sedih. Seharusnya aku mentransfer lebih dari itu. Tapi saat ini aku sangat membutuhkan uang untuk keperluan skripsiku. Aku janji aku akan terus bersabar, bunda. Aku tersenyum tatkala mengingat janji mbak Widya kepadaku bahwa kalau aku bisa bertahan selama dua bulan gajiku akan dinaikkan. Meski aku tidak tahu berapa jumlahnya, tapi aku sudah cukup senang. Apalagi dengan segala fasilitas yang telah diberikan kepadaku. Walau untuk melalui semua itu aku harus berhadapan dengan Randu, adiknya.
Tapi kalau dipikir, belakangan ini sikap Randu tidak sekasar dulu lagi. Aku lupa sejak kapan Randu agak berubah. Meski nada bicara dan tatapannya masih tetap dingin, itu tidak masalah buatku. Mungkin itu yang membuatku bisa bertahan. Entahlah.
Aku menarik napas berat saat mengingat Rina. Apa yang kukhawatirkan tentang sahabatku itu terjadi sudah. Ah, aku enggan menyebut kata sahabat pada Rina. Lebih tepatnya sebenarnya teman biasa, karena Rina juga agaknya membuat jarak denganku. Rina sering datang ke rumah menemui Randu. Dan aku sebagai pembantu yang baik selalu menyuguhkan teh pada mereka. Kadang aku membuat kue atau gorengan sebagai pelengkapnya. Dan sikap Rina, tidak seperti seorang sahabat, tapi seperti seorang tamu, kekasih majikan. Rina lebih banyak menghabiskan waktu berduaan dengan Randu. Duh! Dadaku tiba-tiba terasa sakit. Kini aku hanya bisa menunggu. Cepat atau lambat teman-teman sekampusku akan tahu statusku sekarang.
Tiba-tiba, hp-ku berbunyi. Mbak Widya.
"Assalaamu Alaikum," kataku membuka pembicaraan.
"Wa alaikum salam. Gimana? Kamu sudah terima gajimu?"
"Sudah, mbak. Terima Kasih," ucapku tulus.
"Aku yang harus berterima kasih padamu. Kamu telah merawat ibuku dengan sangat baik. Ibu lebih banyak menunjukan perkembangannya sekarang. O ya, minggu depan aku akan pulang."
"Ya, mbak.
"Titip salam ya buat Ibu. Salam rindu." Mbak Widya lalu menutup pembicaraan.
Mendadak aku teringat pada Ibu Meike. Segera aku bergegas pulang. Tapi sebelumnya aku mampir ke Gramedia dulu untuk membeli beberapa majalah wanita. Aku ingin membacakan kepadanya nanti seperti biasanya.
Tiba di rumah aku segera menengok Ibu Meike di kamar. Beliau masih tidur. Aku lalu bergegas ke lantai atas. Setelah berganti pakaian aku pun turun melesat ke dapur menyiapkan makan siang. Aku tidak ingin kejadian tempo hari terulang lagi. Ya, sejak kejadian di meja makan itu, aku tidak pernah alpa membuat makan pagi, siangmaupun malam.Ada atau tidak ada Randu makanan tetap tersedia di atas meja. Meski kadang aku harus membuangnya bila Randu tidak pulang. Andai saja aku tahu jadwalnya berada di rumah aku tidak perlu mubasir begini, batinku miris.
Aku melirik jam dinding. Pukul 11.00. Sekali lagi aku pergi menengok Ibu Meike. Beliau sudah bangun. Aku segera menghampirinya.
"Mau keluar,Bu? " tanyaku lembut sambil tersenyum.
"WWa...," kata ibu Meike
Aku pun membantunya pindah dari tempat tidur ke kursi rodanya. Kali ini aku tidak terlalu susah memindahkannya karena Ibu Meike sudah mulai bisa sedikit mengangkat tubuhnya meski dengan susah payah. Selama ini hampir tiap hari aku selalu mengajak wanita tua itu berlatih menggerakkan anggota tubuhnya. Dan aku sangat senang, Ibu Meike selalu bersemangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku,Kamu Dan Cinta
RomanceLima tahun lalu Daniar bekerja sebagai pembantu demi membiayai skripsi dan biaya hidup bunda dan adiknya Airin di rumah Widya Purnomo, wanita pengusaha yang cantik dan masih single. Di sana Daniar bertemu dengan Randu, adik Widya yang kasar dan ding...