14

5K 450 41
                                    

Farid dan aku berjalan tergesa menyusuri koridor rumah sakit.

Rudi menyambut kami di sebuah lorong dan membawa kami di sebuah ruangan. Tampak Rina sedang duduk gelisah. Aku panik.

"Ada apa dengan Cinta, Rina? Di mana dia?"

Rina menunjuk ke dalam sebuah ruangan yang tertutup pintunya.

Ya, Tuhan, apa yang terjadi dengan Cintaku. Aku ingin menerobos masuk, tapi sebelum aku mencoba membuka pintu, Rudi menahanku.

"Sabar, kak Niar. Cinta sedang ditangani."

"Cinta..., Cinta.... aku harus di dekatnya. Dia tidak bisa jauh dariku." Air mataku berlinang membayangkan Cinta yang bertarung melawan penyakitnya. Rina memelukku. Farid hanya bisa terpaku. Aku bisa melihat ada kilau dalam bola matanya.

Pintu terbuka. Seorang dokter keluar.

"Mamanya Cinta mana?" tanya dokter itu.

Aku segera berdiri. Dokter itu menyuruhku masuk. Rupanya selama dalam penanganan, Cinta selalu memanggil-manggil aku. Dokter berpikir mungkin kehadiranku dapat membantu Cinta dapat melalui masa kritisnya.

Cinta menatap sayu aku. Bibirnya bergerak tanpa suara. Aku tahu dia memanggilku. Aku mencoba tersenyum. Sebisa mungkin aku berusaha tidak menangis.

Cinta tidak suka aku menangis. Kuelus tangannya yang terkulai lemah. Kubelai pipinya memberi kekuatan. Kuusap rambutnya penuh kasih. Ada sinar binar tertangkap dalam bola matanya. Lama sekali baru Cinta tertidur.

Dokter datang memeriksa. Cinta sudah bisa melewati masa kritisnya. Kata dokter suatu keajaiban. Dokter itu tersenyum lega. Cinta masih harus dirawat intensif.

Aku menoleh ke dinding pembatas ruangan yang sebagian terbuat dari kaca. Di sana tengah berdiri Rudi, Rina dan Farid. Ketiganya menatap kami tak berkedip. Tampak jelas Farid kelihatan tegang. Aku berdiri menemui perawat yang bertugas jaga. Bertanya apakah selain aku orang lain bisa masuk menjenguknya. Perawat itu membolehkan tapi bergantian.

"Masuklah, om!" kataku pada Farid. Aku tahu lelaki itu ingin dekat dengan anaknya saat ini.

"Tapi jangan lama. Aku takut kalau Cinta terjaga, mendapati Om ada di depannya," kataku mengingatkan. Karena masih kuingat jelas perbuatan Cinta dulu akibat rasa tak sukanya pada Farid. Farid bergegas.

Rina menatap kami bingung. Pasti dia merasa heran aku mempersilahkan om Farid masuk.

Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku hari ini. Aku pernah berniat kalau bertemu dengan papa Cinta aku akan menamparnya. Kini dia ada di depanku. Tapi aku tidak bisa melakukannya. Yang ada hanya rasa iba. Mungkin karena pertemuan ini terjadi di situasi yang tidak tepat.

Farid masuk mendekati Cinta. Tangannya bergetar ingin mengusap kepala Cinta. Farid menangis. Lelaki itu tersedu di sisi tubuh putrinya yang sedang terbaring. Rina terkejut.

Sahabatku itu terpana melihat reaksi omnya. Dia terdiam kaku. Aku menghela napas. Lalu terduduk lemas. Hari ini aku benar-benar merasa letih. Mataku jadi menerawang jauh. Rina ikut duduk di sampingku. Aku tahu dia ingin dengar penjelasanku.

"Kamu pernah bertanya mengapa aku menghilang tiba-tiba....," aku mulai bicara.

"Inilah jawabannya, Rin." Lagi aku menghela napas. Kulirik Rina yang tampak terkejut.

Sebelum dia mengambil kesimpulan sendiri, aku segera bercerita tentang awal keberadaan Cinta dalam hidupku. Tentang keadaan kami setelahnya, tentang cibiran orang, tingkah pola Cinta yang menggemaskan, dan rasa sayangku pada bocah itu. Semuanya.

Aku,Kamu Dan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang