Aku bingung saat taxi yang membawaku dari rumah mbak Widya berhenti pada sebuah rumah besar tapi sederhana. Halamannya luas dengan beberapa pohon besar berdiri kokoh. Andai Bukan Pak Karim aku tidak mungkin mau naik taxi tadi. Dibawa lagi ke tempat asing seperti ini. Seorang wanita berpakain putih mirip suster berdiri di teras. Beliau menganggukan kepala saat melihatku turun. Lalu memberi kode agar aku mengikutinya.
Kupandangi sekeliling. Ada sebuah papan nama kecil yang tergantung di dinding rumah dekat pintu masuk. Aku memperlambat langkahku. Sekilas aku hanya sempat membaca tulisan "Bidan Hayati". Hah? Aku tambah bingung. Aku mencoba mengimbangi langkah suster itu. Tiba di dalam kami harus melewati beberapa ruangan. Ternyata luas sekali di dalam. Tempat ini tidak tampak seperti rumah. Lebih mirip asrama. Terdapat beberapa kamar.
Tiba di sebuah kamar yang paling ujung yang terpisah agak jauh dari kamar-kamar lainnya, suster itu mengetuk pintu pelan lalu membukanya. Dan aku terpaku beberapa saat. Antara percaya dan tidak aku melihat seorang ibu dengan berpakaian daster yang mirip mbak Widya sedang berdiri di dekat sebuah boks bayi yang di dalamnya ada seorang bayi mungil yang sedang tertidur pulas. Ibu itu tersenyum ke arahku.
Ya, ampun, benar itu mbak Widya. Penampilannya yang sungguh lain membuatku pangling. Majikanku berpakaian seperti layaknya ibu-ibu rumah tangga biasa. Tanpa make-up, seperti kesehariannya selama ini. Dan Rambutnya digelung seadanya ke belakang.
"Kaget ya?" tanya mbak Widya. Aku mengangguk. Mbak Widya mengikuti arah pandanganku ke boks bayi. Dia lalu menarik tanganku mendekati boks itu,
"Cantik ya?" tanyanya yang lebih mirip sebuah pernyataan. Benar. Bayi itu sungguh cantik. Kulitnya yang merah dengan rambut hitamnya yang lebat. Bulu matanya lentik dan alisnya yang tebal berjejer rapi seperti bulan sabit kecil. Hidung bangir dengan bibir kecil mungil. Sungguh perpaduan yang begitu indah.
Mbak Widya mengangkat bayi itu lalu diciumnya beberapa kali. Kemudian diserahkannya padaku.
"Kamu mau menggendongnya?"
Aku menatap ragu. Sungguh, saat ini dikepalaku penuh dengan tanda tanya.
"Dia anakku," jelas mbak Widya yang membuatku tersentak.
Sekilas aku melihat bayangan sendu dalam bola mata wanita itu. Mbak Widya kembali menyodorkan bayi itu. Aku menerimanya. Tak sadar aku mendekatkan bayi mungil itu ke pipiku. Sebenarnya dari tadi aku sudah gemas sekali ingin menciumnya. Aku merasakan kelembutan saat bayi itu terbangun menggerak-gerakkan bibirnya yang mungil di pipiku. Aku tersenyum, dan..........
***
Aku tersenyum saat bayi mungil itu terus menggesek-gesekan pipi dan bibirnya di wajahku. Kali ini semua wajahku ditelusurinya. Pipiku, bibirku...mataku berulang-ulang dan sebuah suara...
"Eh, masih bobo lagi."
Lalu gesekan-gesekan lembut itu terulang lagi. Aku membuka mataku. Seraut wajah mungil sedang tersenyum lebar di depanku. Cinta! Aku memicingkan mataku coba mengingat apa yang terjadi. Aku terduduk dengan Cinta yang duduk manis di atas pahaku. Rupanya tadi aku tertidur. Cinta terkekeh. Aku merasa aku belum lama tidur. Semalaman aku hanya bisa membolak-balikan badanku saja. Peristiwa lima tahun silam masih terasa begitu membekas.
"Udah siang, mah. Tuh matahalinya sudah tinggi." Cinta menunjuk keluar jendela. Aku terperanjat. Ya, ampuun! Aku kesiangan. Segera aku bergegas. Hari ini aku mengajar di jam pertama. Gawat! Kubayangkan wajah Pak Harno, kepala sekolahku nanti.
Sepuluh menit kemudian aku sudah siap dengan seragam guruku di depan cermin. Ekspres. Aku mematut diriku sekali lagi. Beres deh. Cinta menatapku dengan wajah polosnya saat aku mencium kedua pipinya. Dari sorot matanya aku tahu bocah itu ingin ikut ke tempatku mengajar. Kutepuk kedua pipinya lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku,Kamu Dan Cinta
RomanceLima tahun lalu Daniar bekerja sebagai pembantu demi membiayai skripsi dan biaya hidup bunda dan adiknya Airin di rumah Widya Purnomo, wanita pengusaha yang cantik dan masih single. Di sana Daniar bertemu dengan Randu, adik Widya yang kasar dan ding...