6

2.8K 355 1
                                    

Ibu Meike tersenyum senang saat melihatku masuk ke kamarnya.

"Aku kira ibu sudah tidur," kataku sambil mendekat lalu duduk di sampingnya.

Wanita tua itu berusaha menggelengkan kepalanya. Aku tersenyum. Kulirik jam dinding yang berada tepat di atas tv. Pukul 20.00. Biasanya pada jam begini wanita tua itu sudah tidur. Tapi ternyata matanya masih terbuka lebar. Tidak ada tanda-tanda kantuk di sana.

Aku baru saja selesai mencuci piring makan malam. Tadinya aku berencana setelah itu aku akan mengetik skripsiku, tapi saat menyempatkan menengok Ibu Meike, aku melihat wanita tua itu ternyata belum tidur. Aku pun mengurungkan niatku.

"O ya, bu, minggu depan mbak Widya datang. Dia juga tadi titip salam rindu untuk ibu," kataku memberitahu. Mata Ibu Meike berbinar bahagia.

"Mau saya bacakan lagi sebuah majalah, bu?" tanyaku yang dijawab Ibu Meike dengan gerakan kepala satu kali ke bawah. Aku tahu itu artinya Ibu Meike mau.

Tiba-tiba ada rasa haru menyeruak dalam dadaku jika mengingat usaha wanita tua itu untuk sembuh. Dia selalu berusaha menggerakkan anggota badannya sendiri. Tapi aku pernah mengingatkan beliau agar jangan melakukan gerakan berdiri sendiri atau bangkit dari duduknya tanpa ada orang di sisinya. Sungguh aku takut beliau terjerembab ke lantai lalu tidak bisa bangun dan tidak ada yang menolong.

Aku mengambil sebuah majalah dari atas meja kecil yang berada di samping tempat tidurnya. Tanpa sadar aku melirik foto Randu dengan mamanya. Aku mendesah dalam hati berusaha menarik tatapanku dari benda kecil itu. Aku membolak-balik halaman majalah yang ada di tanganku.

"Hmm...sudah semua dibaca nih, bu." Aku mengambil majalah yang satunya lagi. "Ini juga, sudah. Kayaknya semuanya sudah pernah dibaca," kataku akhirnya setelah semua majalah telah kuperiksa halamannya.

"Tapi....kayaknya ada yang belum dibaca," Aku melirik Ibu Meike sambil tersenyum menggoda. "Malah banyak nih...," Aku berhenti sebentar. Majalah di tanganku yang masih terbuka kubawa ke dadaku sambil menatapnya.

"Iklaaaan," sambungku dengan mimik lucu.

"hhhwhwhw...." Tidak terduga Ibu Meike tertawa. Tampak garis yang sangat jelas pada otot pipinya disertai matanya yang mengerjap-ngerjap menandakan wanita itu merasa lucu dengan gurauanku. Aku terpana sambil tersenyum.Untuk sesaat aku tidak bisa berkata apa-apa, lalu aku pun berdiri.

"Sebentar ya, bu. Tadi aku sudah belikan lagi yang baru kok. Aku ambilkan dulu," kataku. Namun belum aku membalikkan badanku, Ibu Meike memegang tanganku. Aku terperanjat.Aku balik menatapnya.

"Ibu sudah bisa....tangan ibu sudah bisa bergerak," seruku gembira sambil mendekap tangannya di dadaku. Tak sadar aku mencium kedua tangannya lalu kedua pipinya. Ibu Meike tersenyum lebar dengan otot-otot rahang dan pipinya yang masih bergetar. Aku menarik napas lega

Ibu Meike menggelengkan kepalanya. Aku mengernyitkan keningku.

"Maksud ibu? Ooo tidak usah ambil majalah? Ibu tidak suka lagi?"

Lagi Ibu Meike menggeleng sambil melirik ke tempat tidur lalu memejamkan matanya.

"Rrrrurr...rr,"

Hm...mungkin maksudnya tidur. "Baiklah," kataku akhirnya sambil membetulkan selimutnya. " Selamat mimpi indah!" Akutersenyum. Kemudian aku pun berlalu dari kamar diiringi dengan tatapan Ibu Meike yang tak lepas sampai aku menutup pintu.

Aku menuju ke ruang samping dekat kamar Pak Karim. Di sana tadi aku meletakkan tumpukkan hasil cucianku tadi siang dalam keranjang besar. Aku bermaksud melipatnya. Besok aku akan menyeterikanya sepulang dari kampus nanti. Kalau di rumahku dulu, pakaian yang sudah dicuci dilipat di ruang keluarga. Biasanya semua anggota keluarga ikut membantu sambil menonton tv. Kami saling bersenda gurau, saling mengejek hasil lipatan siapa yang paling jelek. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku mencoba menahan air mata yang akan keluar lagi. Mengingat saat-saat manis itu selalu membuatku terharu. Aku tidak boleh menangis lagi, batinku di hati.

Aku,Kamu Dan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang