15

3.2K 366 1
                                    

Aku menginjakkan kakiku di bandara Sultan Hasanudin Makassar dengan Cinta dalam gendongan.

Sejak berangkat tadi Cinta tidak mau dengan siapapun selain aku. Aku kini menyadari mungkin cinta merasa tidak enak badan lagi.

Aku ingat beberapa hari yang lalu sebelum Cinta masuk rumah sakit dia selalu minta digendong. Ada rasa khawatir menjalar dalam dadaku. Aku berdoa dalam hati mudah-mudahan fisik Cinta tetap kuat sampai kami tiba di rumah sakit.

Sepanjang perjalanan tadi aku merasakan ketegangan yang terjadi antara Farid dan Randu. Sesekali kulihat keduanya tengah bertatapan tajam.

Dalam pesawat tadi tempat dudukku sederet dengan Farid, dengan Cinta di antara kami. Sedang Rina duduk bersebelahan dengan Randu di deretan kursi seberang sebelah kanan Farid.

Aku merasa usaha Farid untuk mendekati Cinta sudah mulai tampak hasilnya. Tadi saat Farid mengenakan seatbelt ke tubuh Cinta sambil tersenyum, bocah itu diam saja sambil memperhatikan. Tidak ada penolakan.

Cinta kini telah tertidur pulas. Farid ingin ambil alih menggendongnya tapi aku menolak. Bukan apa-apa. Aku takut Cinta bangun tiba-tiba. Aku berpikir belum saatnya. Nanti saja kalau Cinta sudah terbiasa dekat dengan papanya.

Ada dua mobil yang menjemput kami. Aku, Farid dan Rina naik mobil yang satunya, sedangkan yang satunya Randu menyopir sendiri setelah menerima kunci kontak dari seseorang yang berlalu setelah pamit dengan membungkukkan sedikit badannya ke arah Randu. Mungkin dia adalah sopir Randu, pikirku. Mataku mengikuti tubuh Randu masuk ke dalam mobilnya.

Ah, Randu masih seperti dulu. Masih terlihat kekuatan pada sikapnya, pada perawakannya, dan pada wajahnya yang tampan. Tubuhnya yang tingggi tegap masih kelihatan bugar dan langsing.

Aku berbalik dan tak sengaja mataku bertabrakan dengan tatap Farid yang sudah membuka pintu mobil mempersilahkan aku masuk.

Lelaki itu rupanya tengah memperhatikanku. Aku jadi salah tingkah. Dalam hati aku menggerutu perbuatanku tadi. Pesona Randu telah membuatku tersihir.

Setelah hampir satu jam melintas jalan beraspal, mobil kemudian berhenti pada sebuah rumah bergaya minimalis yang tidak begitu besar. Mobil Randu berhenti di belakangnya. Lelaki itu turun tergesa.

"Aku ingin bicara denganmu, berdua," kata Randu ditujukan pada Farid. Aku dan Rina jadi tegang.

"Kalian berdua masuk," tegas suara Farid kepadaku dengan Rina. Kami jadi Ragu. Tapi tiba-tiba Rina menarik tanganku menjauh setelah melihat tatapan om Farid yang tajam padanya. Sopir Farid yang juga sedang berdiri dekat, juga segera menjauh, menyeberang jalan lalu duduk di depan sebuah kios kecil

Rina menunjukkan kamar untuk aku dan Cinta. Setelah itu dia kembali ke ruang tamu mengintip dari sela gorden jendela. Aku meletakkan Cinta di tempat tidur lalu menyelimutinya kemudian segera menyusul. Aku ingin tahu apa yang terjadi. Wajah kami berdua masih tampak tegang.

Aku tidak tahu apa yang Farid dan Randu bicarakan. Tapi kelihatan jelas Randu sedang marah besar. Farid sesekali merunduk. Pandang mata Randu menyipit. Tangannya menunjuk-nunjuk muka Farid.

Kedua lelaki yang berpostur sama tinggi itu tiba-tiba bersiap saling menyerang.Aku menahan napas. Namun kepalan tangan Farid tiba-tiba terbuka. Dia dalam posisi pasrah. Lelaki itu setengah menunduk ke samping sambil berbicara. Randu berangsur sedikit tenang, lalu lelaki itu menoleh ke rumah.

Setelah berbicara sebentar pada Farid, Randu kemudian bergegas masuk. Wajahnya yang masih marah mendapati aku dan Rina sedang berdiri terpaku di dekat pintu.

"Kemasi barang-barangmu," perintahnya tiba-tiba padaku. Aku terkejut, demikian juga Rina. Karena aku tidak bergeming Randu langsung menarik tanganku menuju kamar. Randu mengambil tasku lalu menoleh pada Cinta yang sedang tertidur.

Aku,Kamu Dan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang