11

4.5K 408 7
                                    

Sepeninggal Rina aku menangis dalam kamar.

Berita yang kudengar sungguh membuat hatiku merasa sedih sekali. Aku ingat Randu.

Meski dulu aku sering dibuatnya menangis tapi aku merasakan kerinduan yang amat kuat pada lelaki itu. Aku merasa hatiku begitu nelangsa. Aku tidak pernah merasa seperti ini.

Aku cepat-cepat menyeka air mataku saat melihat Cinta masuk. Bocah itu ingin digendong lagi. Akhir-akhir ini Cinta selalu begitu. Cinta merebahkan kepalanya di bahuku setelah aku menggendongnya.

“Kita makan dulu yuk!” ajakku sambil menuju ke belakang. Di sana kulihat bunda sedang mengatur piring di meja makan. Aku membantunya dengan Cinta yang masih dalam gendongan.

Aneh!

Tidak biasanya bocah ini seperti ini. Mungkinkah karena Cinta rindu papanya?

“Kenapa sayang?” tanyaku ingin tahu. Cinta menggeleng lesu.

“Cinta tidak mau makan. Cinta mau bobo saja,” jawabnya pelan.

“Biar sedikit saja. Mama ambilkan ya?” pintaku dengan tatapan penuh kasih. Cinta melirikku lalu mengangguk lemah.

“Nah begitu baru anaknya mama.”

Lalu aku pun mulai menyuapi Cinta. Hanya beberapa suap, Cinta sudah minta berhenti. Dia ingin minum susu. Aku pun menurutinya. Dadaku serasa sesak melihat Cinta seperti itu. Untuk menghiburnya aku membacakan dongeng kesukaannya sebelum tidur. Bunda masuk tiba-tiba. Beliau mendekati Cinta lalu menyentuh dahinya.

“Tidak demam,” gumam bunda. Kenapa nak? Kok lesu begitu?” tanya bunda.

Cinta tidak menjawab. Dia hanya menatap aku dan Bunda bergantian dengan sorot mata sedih. Aku menjadi trenyuh. Kucium pipinya, keningnya, bibirnya, hidungnya.

“Mama sayang Cinta. Mama sayang Cinta....”

Berhasil! Aku melihat senyum tipis Cinta. Aku yakin dia merasa senang. Sesaat matanya memandang jauh ke langit kamar lalu terpejam. Aku pun memeluknya penuh sayang. Mama Janji Cinta, mama akan selalu menjaga dan menyayangimu selamanya, bisikku di hati.

Bunda berjalan keluar kamar. Aku menyusulnya kemudian setelah Cinta tertidur. Aku memberitahu bunda tentang mbak Widya dan mamanya. Bunda terkejut. Tampak matanya berkaca-kaca. Dan kali ini aku pun menangis. Mbak Widya pernah menjadi majikanku. Dan dia sangat baik sekali padaku. Aku tidak akan pernah bisa melupakan semua itu. Apalagi kini dengan kehadiran putrinya dalam hidupku.

***

Aku sedang membuat nasi goreng untuk bunda dan Cinta, Rina muncul tiba-tiba lewat pintu dapur.

“Bagi doong. Harumnya,” katanya sambil menarik napas dalam-dalam untuk mencium aroma nasi goreng. Aku tersenyum.

“Mau?” tawarku.

“Dengan senang hati,” katanya sembari tersenyum. Lalu diambilnya piring di atas rak tapi tiba-tiba dia berseru. “Tunggu ya! Ada yang saya lupa.” Rina segera berlari kembali ke messnya. Sepuluh menit kemudian dia kembali dengan membawa sekantong plastik berisi roti. “Untuk Cinta, mamanya dan neneknya,” katanya sambil tersenyum.

“Banyak sekali,” kataku, merasa tidak enak.

“Tenang saja. Masih ada dua kantong di mess. Semalam Om Farid datang. Dia baru tiba dari Makassar kemarin,” jelas Rina yang sontak membuat senyumku hilang. Untung Rina tidak melihat wajahku karena aku sedang membelakanginya.

“Cinta mana?”

“Masih tidur.”

“Hmm, Aku ingin main-main sebentar dengan dia sebelum ke lapangan. Rupanya masih tidur,” gumam Rina. Eh, ini untuk saya?” Rina bertanya saat melihatku mengisi piringnya dengan nasi goreng yang banyak. “Sudah...sudah, banyak sekali.” Rina menatap isi piringnya dengan mulut terbuka.

Aku,Kamu Dan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang