Ringkasan cerita sebelumnya:
Tingkah pola Cinta yang lucu dan menggemaskan, bocah berumur 4 tahun, anak Widya Purnomo yang diserahkannya pada Daniar lima tahun lalu, saat Daniar masih bekerja sebagai pembantu di rumahnya, membuat Daniar semakin sayang pada bocah itu. Hingga membuat Daniar kembali tenggelam pada masa lima tahun silam. Masa dimana Daniar bekerja sebagai pembantu dan usahanya dalam melawan gejolak hatinya terhadap Randu, adik Widya.
-----------------------------------------------------------
Aku berlari kecil menyusuri jalan kecil Perumahan Graha Asri. Sudah waktunya sekarang Ibu Meike makan. Aku harus segera bergegas. Sampai di depan pintu pagar hatiku tercekat melihat Randu tengah duduk di teras sedang menelepon. Kakinya yang masih bersepatu bertengger di atas meja teras. Pintu pagar dalam keadaan tertutup. Randu terus berbicara di hp-nya sambil sesekali melirikku. Aku menekan tombol merah yang ada di depanku. Lima menit kemudian Pak Karim keluar membuka pintu pagar. Aku segera berlari masuk setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih padanya.
Sebelum ke kamarku aku melongok dulu ke kamar Ibu Meike. Wanita tua itu ternyata sudah bangun. Aku segera bergegas menghangatkan bubur yang sudah kumasak sebelum berangkat ke kampus tadi. Setelah melengkapinya dengan otak-otak bandeng yang sudah kusiapkan tadi pagi aku segera ke kamarnya. Seperti biasa wanita tua itu hanya bisa melirikku.
"Bosan ya bu, baring-baring terus." Aku tersenyum sambil berusaha menyandarkan tubuhnya di beberapa buah bantal yang kutumpuk. Ibu Meike mengerjap-ngerjapkan matanya. Aku tahu wanita tua itu bereaksi karena ucapanku.
"O ya, bu, aku tadi mampir ke toko buku beli majalah wanita untuk aku bacakan pada ibu nanti," kataku sambil mulai menyuapinya.
"Ugghhh ughh," lagi-lagi ibu Meike bersuara sambil mengerjap-ngerjapkan matanya. Aku melihat ada kilat riang dalam bola matanya.
Aku tersenyum.Tiba-tiba ada bunyi aneh dari arah perutku. Aku pun tersipu karena tiba-tiba Ibu Meike menatapku marah. Tatapan itu....ah seperti punya bunda. Tatapan tegas penuh kasih jika aku bandel.
"Ibu makan dulu," Aku kembali menyuapinya. Aku tahu dari tatapannya Ibu Meike ingin aku makan dulu. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan wanita tua ini. Sekarang ini jam makannya dan sebentar lagi waktunya minum obat.
Akhirnya....
"Habis deh makananya, ibu,"
Aku berseru gembira setelah memasukan suapan terakhir ke dalam mulut Ibu Meike. Aku merasa kali ini waktu yang dibutuhkan Ibu Meike untuk makan tidak lama seperti biasanya. Aku baru sadar.Kutatap wanita tua ini berbinar sambil memegang kedua tangannya. Telapak tanganku terasa geli ketika ada sedikit gerakan kecil di jarinya.
"Uggghhh uggha...gha," Kali ini Ibu Meike berusaha menggenggam jari-jariku. Aku jadi tegang dan terharu tatkala jari-jarinya berhenti bergerak tiba-tiba. Aku mengangguk kecil mencoba memberi semangat.
"Tidak apa.... Kita akan terus mencobanya," kataku pelan.
Lalu aku pun berdiri mengambil beberapa obat di atas meja kecil. Setelah memberinya minum aku pun pamit untuk mengisi perutku yang sudah sejak tadi menyanyikan lagu-lagu sendu. Tapi sebelumnya aku menyetel dulu siaran tv untuk ditonton Ibu Meike.
Aku berjalan ke arah dapur. Namun sebelum aku tiba di sana aku melihat sepasang kaki bersepatu tengah bertengger di atas meja makan. Tubuh si empunya kaki bersandar di kursi. Langkahku berhenti tiba-tiba. Hatiku tiba-tiba merasa gentar. Randu! Aku ingin berbalik. Tapi terlambat, dia telah melihatku.
"Kenapa? Kaget?" Tanyanya dingin.
Aku menarik napas berat.
"Rumah ini punya pembantu, tapi makan siang tidak ada. Kamu tahu aku sudah lapar dari tadi!" Randu berdiri mengitari meja makan dan berjalan ke arahku.
"Seandainya bisa, aku ingin memakanmu saja. Tapi sayang aku bukan kanibal."
Aduuh, entah kenapa kali ini aku tidak punya kekuatan untuk melawannya. Mungkin karena aku sedang lapar.
Lapar?
Ooo.. tidak. Rasa laparku sudah terbang entah ke mana tadi saat aku terkejut melihat pemuda brengsek ini.
"Tunggu apa lagi? Cepat sana siapkan makan?" Teriaknya kasar.
Aku segera bergegas. Rencananya tadi aku hendak membuat mi instan saja untuk makan siangku kali ini, tapi kini tidak jadi. Aku membuka kulkas. Melongok apa yang bisa kusajikan siang ini. Tanganku gemetar.
Ah bunda....bunda...! teriakku di hati. Mataku tiba-tiba memanas.
Apa yang kualami ini?
Apa yang kualami ini ayah?
Batinku sedih.Air mataku pun akhirnya tumpah. Aku menyekanya.
Tapi butiran-butiran kristal itu terus saja mengalir. Aku berusaha menarik napas dalam-dalam.
Demi bundaku dan Airin, aku tidak boleh menyerah. Aku mengambil potongan wortel lalu kumasukkan ke dalam mulutku untuk mengganjal perutku.
Aku tidak ingin sakit maag. Aku selalu ingat pesan almarhum ayah kalau sudah tiba waktu makan tapi belum sempat bisa makan, usahakan masukkan potongan kecil makanan ke dalam perut untuk sementara agar tidak sakit maag.
Sejam kemudian makan siang sudah siap di atas meja. Tapi aku tidak melihat Randu. Aku tidak berani makan duluan. Kepalaku saja sudah terasa berat jika berhadapan dengan dia apalagi nanti harus mendengar kata-kata pedas yang selalu dia hamburkan.
Aku menemui Pak Karim yang tengah mencabut rumput di halaman belakang. Pak Karim tersenyum menyambutku.
"Sabar ya, nak!" katanya, membuatku hanya bisa tersenyum getir. "Makanan sudah siap?" tanyanya lagi dan kujawab dengan anggukan lemah. Pak karim segera berdiri hendak memberitahu Randu.
Aku mengikutinya di belakang, hanya beberapa langkah saja karena tiba di bawah ujung tangga aku berbelok naik ke kamarku.
Di dalam kamar aku kembali tersedu. Tiba-tiba terdengar ketukan halus dari balik pintu kamar disertai suara Pak Karim. Aku cepat-cepat menyeka air mataku.
"Ayo, makan dulu," kata Pak Karim segera sambil menarik tanganku ketika aku baru saja membuka pintu kamar.
"Aku tidak lapar, pak," tolakku halus.
"Kamu mau buat aku kelaparan lagi karena menunggumu?" Tiba-tiba suara Randu yang keras membuatku tersentak.
Menungguku? Menungguku makan semeja?
Ooo tidak!
Tapi Tatapan Randu yang tajam membuatku tak berkutik. Aku manut saja ketika tanganku ditarik oleh Pak Karim. Tiba di meja makan di sana sudah tertata tiga piring makan. Padahal tadi aku hanya menaruh satu piring saja. Aku sedikit lega ini berarti Pak Karim ikut makan dengan kami.
"Rina mana, Pak?" tanya Randu pada Pak Karim. Yang ditanya bingung. Tiba-tiba sesosok tubuh langsing keluar dari bawah tangga. Lebih tepatnya lagi dari toilet yang terletak di sana.
Aku terkesiap. Sosok itu pun demikian. Mendadak tubuhku rasanya seperti tak bertulang, lemas. Hampir saja aku jatuh kalau saja tidak berpegangan kuat pada Pak Karim.
Ya Tuhan! Mendadak lidahku terasa kelu.
"Daniar?" Rina menatapku bingung. Aku tersenyum kaku.
"O rupanya kalian sudah saling mengenal. Baguslah kalau begitu," kata Randu santai sambil menarik kursi.
"Kita bisa mulai makan. Lapar nih. Ayo Rina."
(Bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku,Kamu Dan Cinta
RomanceLima tahun lalu Daniar bekerja sebagai pembantu demi membiayai skripsi dan biaya hidup bunda dan adiknya Airin di rumah Widya Purnomo, wanita pengusaha yang cantik dan masih single. Di sana Daniar bertemu dengan Randu, adik Widya yang kasar dan ding...