25

145 23 46
                                    

"Lo pintar pelajaran biologi 'kan?" Airin menilik Abi yang mengangguk kaku. "Lo berarti tahu apa itu hama. Nah, lo kayak hama, bisa jauh-jauh?"

Sontak kepala cowok itu menggeleng tegas. "Hampir setiap hari gua mengerahkan seluruh tenaga untuk pendekatan sama lo, ya kali gua minggat. Nanti lo kangen lagi. Gua kan sosok ngangenin," jemawa Abi dengan tampang sok kegantengan.

"Lo mau apa sebenarnya, Bi?"

"Nambah teman," jawab Abi membuat Airin bingung.

Tak pernah ada yang bersedia menawarkan diri menjadi temannya, kala orang itu tahu keadaan Airin yang sebenarnya. "Beri gua alasan, kenapa lo mau jadi teman gua."

"Karena lo selalu mengunci raga lo di balik pintu. Sama kayak gua kala itu." Abi tersenyum kecil, ia pernah berada di posisi Airin, membangun tinggi benteng agar dunia luar tak menyapanya.

"Terlalu lama, sampai lo enggak sadar dunia luar tetap berjalan tanpa kehadiran lo. Di saat orang lain berteman tanpa syarat dan alasan, gua mesti ngemis-ngemis dulu untuk jadi teman lo. Teman doang loh ini, bukan pacar," lanjut Abi dengan nada candaan khasnya.

Perlahan ia duduk di pinggir kasur yang Airin tempati, tungkainya terasa pegal setelah berkeliling rumah, dan berakhir beridiri di kamar Airin.

Airin berniat marah, tetapi ia takut kemarahannya akan membuat perasaan Abi sakit hati. Ia hanya bergeser ke pojok kasur, sedikit menjauh dari tempat Abi duduk, takut bila cowok itu melakukan hal yang tidak-tidak.


"Setiap manusia pernah berbuat salah. Pasti setiap kesalahan dihantui rasa penyesalan, maka dari itu manusia harus bertanggung jawab atas kesalahan yang diperbuat, entah sekecil apa pun kesalahan itu."

"Mama gua pergi karena sentuhan tangan gua, bahkan Sakura hampir kehilangan nyawanya. Kutukan ini sudah berusaha gua hilangkan, tetapi ...." Sepasang mata Airin menatap sedih kedua tangannya, kecewa pada diri sendiri.

Banyak orang yang telah ia sakiti karena kedua tangannya. Rasa kehilangan yang dirasakan Pram serta dirinya saat melihat kepergian mama. Bentakan Kenzo dan raut kepanikan Natasya selalu terngiang di benaknya, kala Airin berusaha untuk bangkit kembali.

"Lo bisa minta tolong orang terdekat untuk jadi Airin yang dulu. Terlalu sulit kah elo untuk minta tolong, Ai?"

Airin menggeleng, nasihat-nasihat yang keluar dari bibir Abi terdengar seperti stimulus. Membangkitkan tekadnya, walaupun rasa sesak itu masih berakar di relung hatinya.

"Coba belajar ikhlaskan kejadian lalu, Ai." Airin hanya bisa mengangguk lesu.

Setiap nasihat terdengar seperti omong kosong di telinganya. Mudah diucapkan, tetapi sangat sulit untuk dilakukan. "Papa nganggap kehadiran gua sebuah kecelakaan, padahal beliau orang yang pertama kali gua banggain di depan kelas, ternyata beliau mengkhianati mama dan pergi ninggalin keluarga. Jika waktu itu gua enggak hadir di tengah-tengah mereka Ai, mungkin saat ini mama bisa lebih bahagia."

Tawa Abi mencuat, wajah Airin tak menunjukkan ekspresi apa pun. Entah, apa yang gadis itu pikirkan, tetapi Airin sama sekali tak menunjukkan raut kaget.

Abi berdecak kesal, "Lo enggak mau prihatin atas kisah tragis yang menimpa gua?"

"Prihatin dengan cara? Lo mau dikasianin? Gua malah anti banget sama tatapan itu, seakan-akan gua yang paling menderita."

Tawanya meledak. Masuk juga jebakan gua. Abi kembali menyindir, "Maka dari itu, jangan berusaha untuk selalu dimengerti, Ai. Mentang-mentang elu berbeda dari remaja pada umumnya, bukan berarti elo harus dingertiin terus."

"Gua kira lo mau bantuin gua, Bi," ketus Airin.

"Lo pikir orang yang bantuin lo harus manis dan ngejilat elo gitu? Ogah banget gua, Ai. Kecuali, lo jadi pacar gua, baru deh gua enggak masalah bersikap manis."

Airin menilik Abi, hampir semua ucapan cowok itu tepat sasaran. Bayangan saat dirinya menolak berinteraksi dengan Laksa. Saat dirinya mengabaikan ajakan Shinta untuk ke kantin bersama. Lalu kala Abi ingin berteman baik dengannya, bahkan sampai merusuhi tempat paling privasi--kamar tidurnya.

"Nyesel ya lo?" Airin menarik kembali rasa penyesalannya terhadap Abi, ia kesal terhadap mulut Abi yang berkoar-koar terus-menerus, tetapi tak bisa membungkamnya, karena apa yang dikatakan memang benar apa adanya.

"Kalau lo nyesel, jadi temen gua makanya. Syukur-syukur kalau lo mau jadi pacar gua."

"Pacar teros, telinga gua sakit dengar kata sialan itu. Apalagi elo yang bilang," ucap Airin dengan wajah cemberut.

Abi lagi-lagi tertawa, melihat kekesalan Airin berkali lipat dan wajahnya yang cemberut, menjadi hobi baru.

"Kan gua ngebet jadiin lo pacar, Ai. Hati lo aja yang susah cairnya."

"Dikira es batu kali hati gua. Keluar sono, ini kamar cewek, enak banget nyelonong masuk. Balik ke asal!" usir Airin garang.

"Nanti kalau--" Kedatangan Laksa dan Kenzo membuat Abi mengubut kalimatnya entah ke mana.

Laksa dengan cekatan memiting leher Abi. "Gua cariin keliling rumah, tahunya nyasar di sini lo."

"Bukan nyasar, betah dia malahan di sini," ucap Kenzo ikut mengompori.

Abi berusaha melepaskan pitingan Laksa. Karena, ia yang paling peka di antara sahabatnya, lebih baik ia tak menggoda Airin di depan Laksa. Walaupun sudah dilarang oleh Kenzo untuk mendekati Airin, tetapi Abi yakin Laksa masih menyukai gadis itu.

"Berisik banget lo bertiga, udah kayak konser dangdut. Keluar dari kamar gua sana, sebelum Sakura datang, nanti tambah berisik."

Bukannya keluar, Abi malah berteriak jahil, "Sakura. Ra, sini lo! Airin kangen katanya."

***

Don't Touch✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang