21

83 11 0
                                    

Dugaan Airin benar, kondisi Kenzo jauh dari kata baik-baik saja. Cowok itu dinyatakan demam setelah Pram berhasil mendobrak pintu kamar Kenzo dan menemukan raganya di atas kasur dengan suhu hampir menyentuh angka 40 derajat celsius.

"Maksud Kak Airin kemarin malam, itu Kak Kenzo demam?" Airin mengangguk menjawab pertanyaan Sakura.

Mereka berdua berada di dalam mobil, menuju sekolah setelah Sakura bolos sehari karena kecemasan yang merajai pikirannya.

"Kok Kak Airin enggak bilang?"

Airin membuka kelopak matanya, mencoba sesabar mungkin dengan sikap Sakura yang polos-polos, tetapi mampu membuatnya naik darah. "Beri aku tiga alasan, mengapa aku harus memberi tahukan kamu tentang keadaan Kenzo?"

Sakura diam sebentar, ia membuka mulutnya, lalu mengatupkannya kembali. Tak ada tiga detik, ia berujar, "Karena kesehatan Kak Kenzo penting, aku merasa bersalah, dan orang rumah khawatir. Kak Airin kenapa tidak menyebut Kak Kenzo dengan sebutan yang lebih sopan? Bukankah Kak Kenzo lebih tua?"

"Bagiku kesehatan Kenzo sama sekali tidak penting. Cowok itu dapat mengurus dirinya sendiri, jika tidak, ia seharusnya sadar diri dan tidak merepotkan orang lain. Rasa bersalahmu juga tidak penting bagiku, Ra. Orang rumah khawatir? Aku termasuk orang rumah, dan aku sama sekali tidak khawatir dengan keadaan Kenzo."

Sakura berniat membalas kalimat Airin, tetapi gadis itu segera bungkam karena Airin memberikan tatapan tajamnya. "Untuk sebutan, itu menjadi hakku mau menyebutnya apa, karena nanti aku sendiri yang akan memanggilnya. Tolong hentikan aksi wawancara ini Sakura, aku ingin berangkat ke sekolah pagi ini dengan damai."

Sakura yang mendengar itu langsung mencebik kesal, "Jika Kak Airin tidak peduli, seharusnya tidak perlu repot membelikan bubur ayam untuk Kak Kenzo sebelum kita berangkat ke sekolah."

"Berisik," ujar Airin malu bercampur kesal.

***

Saat Laksa dan Abi mendengar kabar bahwa sang karib jatuh sakit, tanpa menunda-nunda, mereka segera tancap gas ke menjenguk Kenzo, dibekali alamat dari wali kelas, Abi dan Laksa bisa sampai tanpa nyasar.

"Kenzo main yokk!" teriak Abi dengan tidak tahu dirinya.

Bukannya menegur, Laksa malah ikut menyauti, "Kenzo main lempar sendal yokk!"

"Seruan main benteng tahu!" seru Abi yang lebih suka main benteng sejak kecil.

"Gua maennya layangan, balik sono lo pada," usir Kenzo dengan wajah pucat berdiri di depan Abi dan Laksa.

Saat ini mereka terhalang oleh pagar besi, Abi dan Laksa masih belum bisa memeluk sahabat karibnya.

"Gua pulang asal meluk lo dulu," ujar Abi dengan aura kasih sayang yang terpancar di wajahnya.

"Jijik, pulang sono lo! Enggak diterima di rumah gua."

"Yah, syarat dan ketentuan supaya kita bisa masuk rumah lo apaan?" tawar Laksa membuat Abi terkekeh kecil.

"Dikata promo kali, pakai syarat dan ketentuan."

"Pertama, personil mesti lengkap. Kurang si Rama, ke mana tuh bocah? Kedua, lo pada niat jengukin gua kaga? Mana bingkisannya?"

"Kalimat lo berasa bukan kek orang sakit, ngapain kita kasih bingkisan?" Abi mengangguk setuju, selain wajah pucat, Kenzo terlihat baik-baik saja.

"Udah tahu Rama bucin, ya pasti dia ngapel sama Shinta. Pakai ditanya." Gantian, kali ini Laksa yang mengangguk atas pernyataan Abi.

Kenzo membuang napasnya pelan, ia memutuskan untuk membukakan pagar rumahnya dan mempersilakan sahabatnya masuk.

"Lain kali, lo pada enggak bawa bingkisan pas gua sakit. Musnah aja," ucap Kenzo berjalan sedikit tertatih, kedua tangannya berusaha mencapai tumpuannya untuk berjalan agar tak jatuh.

Keadaan Kenzo sebenarnya belum pulih, ia ingin membiarkan Abi dan Laksa di depan rumah hingga malam menyapa, tetapi kasian jika keramaian mereka seperti konser dangdut akan membuat tetangganya mengamuk.

"Lo pengen sakit lagi?" tanya Abi berdiri di samping kiri Kenzo, membantu memapahnya.

"Kagak sih." Badan Abi dan Kenzo sedikit menggeser ke kiri, membiarkan sisi sebelah kanan diisi oleh Laksa yang berniat membantu Kenzo.

"Ribet banget, buset dah!" Kenzo dan Laksa tertawa mendengar sungutan Abi.

"Kan, biar keliatan karibnya. Kamar lo di atas?" Kenzo mengangguk, Laksa dan Abi sedikit menyesal mengganggu waktu istirahat Kenzo.

"Tadi lo turun gimana?" tanya Laksa lagi.

"Tinggal turun, emang mau gimana? Ngesot gitu?"

"Enggak gitu juga maksud gua."

"Paling dibantu sama pegangan tangga ini, Lak."

"Heran gua, Laksa peringkat satu, tapi Abi lebih encer," goda Kenzo meraih gagang pintu kamar dan membukanya.

"Maksud lo, otak gua enggak encer gitu?"

"Enggak ada yang bilang gitu," ucap Abi ikut-ikutan meledek Laksa.

"Bodo ah, terserah. Rumah lo gede banget, heran gua kenapa lo kemarin minggat?"

"Kamarnya banyak, ke isi semua itu?" tanya Abi ikut-ikutan kepo.

"Satu-satu nanyanya, jangan rombongan kayak jemaah haji." Otak Kenzo mencoba mencari celah, sebisa mungkin ia harus mengelak, karena bisa saja langkah yang ia ambil akan membuat kedoknya terbongkar.

Belum sempat Kenzo menjawab pertanyaan Abi dan Laksa, pintu kamarnya terketuk dan terbuka. Sosok gadis dengan surai panjang yang membuat seisi kamar Kenzo kaget.

"Dia ngapain ada di rumah lo?" tanya Laksa terbata.

Abi yang semula kaget, ia langsung mengulum senyumnya. "Kejutan yang menarik."

***

Don't Touch✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang