2

437 67 142
                                    

Salah satu kaki Airin yang dibungkus sepatu berwarna hitam sudah menginjak aspal. Kepala Airin menatap Pak Jono--sopir Airin. "Terima kasih, Pak," ucapnya tulus, tetapi bibirnya tak tersenyum.

Tungkainya melangkah memasuki lingkungan sekolah dengan hati-hati, Airin mencoba sebisa mungkin untuk tak bersentuhan secara langsung, walaupun tak disengaja.

Suasana sekolah sudah ramai, Airin mendengkus kesal, karena perdebatan di ruang makan, membuat Airin terlambat berangkat ke sekolah dari jam biasanya.

Kedua mata Airin semakin dibuat melotot kala tangga sekolahnya sangat ramai. Airin menjadi cemas dan gugup, ia ragu bisa dengan mudah sampai di kelasnya dengan aman.

Airin memutuskan untuk pergi ke toilet, menunggu sampai tangga sekolah sedikit lebih lenggang.

***

"Baru datang, Rin?" Laksa, cowok dengan rangking satu menghampiri Airin yang baru saja memasuki kelas.

Airin menggeleng pelan, bibirnya masih terkunci rapat.

"Terus kok baru datang?" tanya Laksa lagi.

Airin tak menghiraukan rasa ingin tahu Laksa, kakinya terus berjalan menuju bangkunya yang terletak di baris paling belakang, pojok sebelah kanan, dekat dengan jendela.

"Halo, gua nanya loh." Laksa terus saja mengekori Airin dan menuntut gadis itu agar menjawab pertanyaannya.

Airin duduk di bangkunya, beberapa detik kemudian ia menelungkupkan kepalanya di atas meja.

"Kasian banget lo dikacangin," ledek Rama membuat Laksa mendelik kesal.

"Lagian lo aneh banget sih, Lak. Suka kok sama yang modelan Airin, gua denger-denger dia punya penyakit kulit menular loh, makanya dia enggak suka disentuh." Dahi Laksa mengerut bingung, seperkian detik kemudian ia tertawa.

"Mata lo burem, Ram? Enggak lihat kulit dia itu mulus, mana ada kulit kayak gitu punya penyakit kulit menular?"

Rama geleng-geleng kepala, bibirnya mencebik. "Susah kalau udah jadi bucin mah."

"Wajar kalau gua bucinnya ke Airin, pintar, putih, mulus, enggak bacot lagi, kayak elo!"

"Enggak bacot atau gagu sih dia?" tanya Rama memperhatikan Airin yang tak juga bergerak.

"Hati-hati lo kalau ngomong, belum pernah tuh mulut dibungkam pakai kancut ya?!"

"Jorok amat bahasanya, Bang."

"Masih mending jorok, daripada elo, kasar."

"Masih pagi, bacot amat," ujar Shinta yang kesal karena terganggu dengan kebisingan mereka berdua.

"Emang lagi ngapain sih lo?" tanya Rama yang ingin tahu kerjaan Shinta saat pagi-pagi begini.

"Pengen tahu banget lo, Kadal." Shinta mencebik kesal, pacarnya itu memang tak pernah berubah tabiatnya, memiliki rasa ingin tahu terhadap urusan orang.

"Kadal-kadal gini, cowok lo Shin," ucap Laksa memperingatkan.

"Nyesel gua nerima, mending juga pacaran sama Sehun."

Rama mengernyit bingung, nama yang disebutkan Shinta terasa tak asing di telinganya. "Bihun?"

"Sehun, Goblok!" seru Shinta yang sudah mematikan telepon genggamnya karena aksi menonton konsernya diganggu oleh Rama dan Laksa.

"Sehun siapa sih?" tanya Laksa yang terkena virus kepo dari Rama.

"Berkawan sama Rama, jadi ikutan kepo lo, Lak."

Don't Touch✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang