1

726 73 181
                                    

Wajah pucat pasi tercetak jelas di wajah sang mama, perasaan khawatir beserta sedih selalu Airin rasakan bila menengok kamar kedua orang tuanya.

Tangan mungil Airin mengelus punggung tangan sang mama, kelopak matanya belum juga terbuka. "Airin datang, Ma."

"Kata ayah, Mama bobonya pulas banget, tapi Mama jangan lama-lama bobonya. Soalnya Airin kesepian, enggak ada teman main, kan Mama udah bobo berbulan-bulan."

Usapan tangan mungilnya berhenti, berbarengan dengan mulutnya yang juga berhenti berceloteh, badannya sedikit menunduk, mengambil boneka yang ia bawa. "Mama ... Airin bawa boneka Dorami yang Mama beliin."

Diapitkannya salah satu bagian tangan boneka ke tangan mamanya yang tak bergerak. "Teman Airin bilang bonekanya udah jelek. Airin marah, soalnya ini hadiah terakhir yang Mama kasih buat Airin."

Boneka Dorami yang Airin bawa ia taruh kembali di dekat kakinya, kedua matanya menyipit, berbarengan senyum lebar yang terpampang di bibirnya. "Kata ayah, besok ulang tahun Mama. Ayah sekarang udah di jalan, bawa kue ulang tahun." Airin kembali menautkan tangannya dengan tangan sang mama.

Belum ada lima menit, gadis mungil itu dikagetkan dengan suara yang berasal dari monitor EKG. Airin melepas tautan tangannya secara refleks, tungkainya melangkah mundur dari ranjang tempat sang mama berbaring.

Perawat mamanya yang selalu berjaga selama 24 jam berlari tergopoh-gopoh. Badan mungilnya meluruh, bersandar ke tembok bercat putih gading. Airin menatap tangannya yang baru beberapa menit memegang tangan sang mama.

"Mama kenapa? Ayah sebentar lagi datang, apa Mama sedih karena menunggu ayah yang tak juga datang? Atau karena Mama enggak suka, bila Airin sentuh Mama?" Kedua mata Airin masih fokus menatap tangannya. "Airin janji enggak bakalan megang tangan Mama lagi ... kalau itu ngebuat Mama kesakitan," janji Airin. Air matanya terus meluruh berbarengan dengan isak tangis gadis itu.

Ayah Airin baru saja tiba, air matanya ikut lolos saat melihat alat-alat sang istri yang terpaut di tubuhnya tiba-tiba dilepas. Jinjingan yang berisi kue yang ia bawa, terlepas begitu saja  membentur dinginnya lantai marmer berwarna putih sedikit keabu-abuan.

Kue yang khusus Airin pilih untuk merayakan ulang tahun mamanya sudah sedikit tak berbentuk. Airin berlari kecil saat melihat kedatangan ayahnya. "Ayah," panggil Airin, tangannya menarik ujung jas hitam sang ayah.

Ayah Airin berjongkok, mencoba menyetarakan tingginya dengan sang anak. "Maafin Ayah karena belum bisa menjaga Mama." Ayahnya mencoba memeluk Airin, tetapi gadis kecil itu menolak bahkan beringsut menjauhi sang ayah.

Airin menggeleng pelan. "Mama pergi?"

***

Sinar mentari dengan nakalnya menembus gorden berwarna putih, perlahan kedua kelopak matanya terbuka. Matanya mengerjap. Airin mendengkus kesal saat mimpi itu kembali menghantuinya.

Airin mencoba mengumpulkan semangatnya, tangannya ia angkat ke atas, mencoba merenggangkan badannya. Kebiasaan membosankan yang mau tak mau ia lakukan hampir setiap hari begitu menyiksanya. Bangun-mandi-sarapan-berangkat ke sekolah.

Tas ransel berwarna hitam sudah Airin jinjing di tangan kanannya, langkah demi langkah kakinya lalui, membawanya menuju ruang makan yang sudah diisi lengkap oleh penghuni rumah yang menjadi saksi bisu sang mama meninggal.

"Pagi Airin," sapa Natasya--mama tirinya.

Airin mengangguk pelan. Puas melihat pergerakan mamanya melepaskan celemek yang menempel di tubuhnya, Airin berganti menatap sang ayah yang sudah sibuk menikmati kopi sembari mengerjakan laporan di telepon pintarnya. Airin tersenyum tipis, ayahnya selalu sibuk.

"Kak Airin duduk, bentar lagi kita berangkat." Airin lagi-lagi mengangguk mendengar ajakan ramah dari Sakura--adiknya yang polos dan mudah dibodohi.

"Kita berangkat sekarang," titah Kenzo, mata elangnya manatap tajam sosok Airin yang baru saja bergabung di meja makan.

Sakura yang takut Kenzo marah, akhirnya bangkit dan memungut tasnya yang tergeletak di atas lantai dekat meja makan.

"Loh? Sakura belum selesai makan loh," protes Natasya saat melihat Sakura yang bangkit dari duduknya.

"Nanti terlambat Ma," ucap Kenzo membuat Natasya geleng-geleng kepala.

"Habiskan dulu sarapannya," ujar Pram yang masih sibuk dengan telepon pintarnya itu, sesekali tangannya mengambil cangkir yang berisi kopi, lalu meneguknya beberapa teguk secara perlahan, menikmati setiap rasa biji kopi yang sudah dihaluskan dan diseduh.

"Nanti kalau telat gimana?" tanya Kenzo dengan wajah kesalnya.

"Kenzo," panggil Natasya lembut, tungkainya melangkah mendekat ke arah anak cowoknya. "Jangan jadikan rasa ketidak sukaan kamu merugikan orang lain."

"Emangnya aku enggak suka sama siapa?" tanya Kenzo pura-pura tak tahu.

Natasya tersenyum. "Seisi rumah ini juga tahu kamu masih belum berdamai dengan Airin."

"Kata siapa?"

"Kalau kamu mengelak terus, berarti boleh dong kalau pagi ini kalian berangkat bareng? Semobil sama Airin, lumayan enggak boros bayar sopir dua," goda Natasya.

"Semobil sama dia? Yang ada kita kecelakaan gara-gara ada dia, Airin kan pembawa sial," tukas Kenzo tanpa rasa bersalah.

"Kenzo," ujar Pram, suaranya tegas mampu membuat Natasya panik bila Pram akan marah besar terhadap ucapan Kenzo yang kelewatan.

"Emangnya aku salah, Yah? Seisi rumah ini juga tahu gara-gara dia, mamanya meninggal. Gara-gara dia juga Sakura pernah mengalami patah tulang."

Pram menggebrak meja makan, hingga cangkir kopi yang berada di pinggir meja makan bergeser dan terjatuh. Cangkir kopi itu tak lagi berbentuk. "Jaga bahasa kamu, Kenzo!"

Natasnya menghampiri Pram, mencoba menenangkan suaminya, sayangnya Pram segera pergi meninggalkan meja makan.

Airin belum menyentuh sarapan yang berada di hadapannya, manik mata Airin menatap kedua tangannya, ketakutan Airin untuk memegang seseorang semakin menjadi.

"Gara-gara lo, kita berantem lagi kan? Coba aja di dunia ini spesies kayak lo enggak ada, orang enggak bakalan celaka!" tukas Kenzo tanpa mencerna kalimatnya.

"Kenzo! Mama enggak pernah ngajarin kamu kayak gitu, Nak."

Airin semakin menunudukkan kepalanya, menatap piring berisi roti yang sudah dipanggang.

"Belain aja terus anak pembawa sial itu!" Kenzo berjalan meninggalkan ruang makan tanpa pamit kepada Natasya yang sudah terisak.

Sakura memeluk mamanya erat. "Sakura berangkat Ma," pamit Sakura.

***

Don't Touch✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang