7

72 12 3
                                    

Airin berniat menunggu Sakura pulang di lantai bawah. Ia khawatir dengan kondisi Sakura, walaupun Airin hanya melihat kejadian perundungan Sakura saat pagi hari, tetapi itu tak menjamin adiknya tidak akan dirundung saat jam istirahat atau pulang sekolah.

"Airin mau ke mana?" tanya Natasya saat melihat Airin kebingungan di atas tangga.

"Ke bawah."

"Kok bingung gitu?"

Airin menggeleng, tungkainya perlahan menuju Natasya yang sudah di bawah.

"Kamu kenapa, Nak?" Natasya tersenyum kecil mengawasi gerak-gerik Airin.

"Haus."

"Mau diambilkan minum?" tawar Natasya membuat Airin menggeleng.

Tanpa pamit, Airin segera melangkahkan kakinya menuju dapur. Airin menjadi gugup saat dirinya di lorong, pembatas ruang tamu dan dapur. Ia jarang memberikan perhatian, takut bila Sakura malah menolak kehadirannya dan malah menimbulkan luka di hati Airin.

Kepala Airin menoleh ke arah pintu dapur, pintu tersebut menghubungkan dapur dengan garasi mobil. Kedua matanya membola kala melihat penampilan Sakura yang berantakan.

Airin berniat membuka mulutnya, tetapi Sakura segera memberikan isyarat untuk diam. "Jangan bilang siapa-siapa Kak," pinta Sakura pelan. Airin menghampiri Sakura, berniat menanyakan apa saja yang sudah ia duga sedari tadi.

"Pipi kamu kenapa merah? Ditampar siapa?" Sakura menggeleng pelan, kepalanya menunduk, tak berani menatap Airin.

"Kamu naik ke atas, mandi dan ganti banju, nanti aku obatin."

Kepala Sakura perlahan terangkat, sudah lama sekali kakaknya itu tak bersikap demikian, dirinya jadi bertanya-bertanya sendiri.

"Kak Airin mau ngobatin Sakura?" Airin tersenyum tipis lalu mengangguk kecil, hati Airin terasa lebih ringan kala melihat senyum kecil yang terbit di bibir Sakura.

"Cepat, keburu mama datang." Sakura mengangguk, kakinya melangkah meninggalkan dapur dengan hati-hati, takut bila orang lain melihatnya dalam kondisi yang tak baik.

***

Sakura sudah siap dengan seragam dan tas sekolahnya. Ia tersenyum di depan cermin kala mengingat kejadian kemarin, Airin lambat laun berubah menjadi hangat dengan Sakura. Seperti saat dirinya baru menginjakkan kaki di rumah ini.

"Sakura, ayo turun, nanti terlambat loh," ucap Natasya sembari mengetuk pintu kamar Sakura.

"Iya, Ma!" Sakura berjalan cepat, ia tak sabar menemui Airin, kakak perempuannya itu berjanji kepada Sakura untuk datang ke sekolah bersama.

"Pagi, Kak Airin!" sapa Sakura saat dirinya sudah sampai di meja makan.

Airin mengumpat dalam hati, perhatian semua pasang mata menatapnya lalu menatap Sakura dengan tatapan heran.

Airin tersenyum canggung. "Pagi," balasnya. Sakura senang bukan main, ia terdenyum lebar hingga Airin ngeri sendiri, takut bila bibir adiknya itu robek.

"Kak Kenzo, kita ke sekolahnya bareng Kak Airin ya?" pinta Sakura membuat Kenzo tersedak.

Natasya segera menghampiri Kenzo, menepuk punggung anaknya yang tersedak saat menelan nasi goreng. "Pelan-pelan makannya, Nak."

"Lagian Sakura bercanda aja kerjaannya, Ma. Udah tahu aku enggak bakalan sudi, dia malah mancing keributan," keluh Kenzo menatap tajam Airin.

"Atau jangan-jangan Airin ngemis-ngemis kali Ma, buat semobil."

"Kenzo, jangan gitu, Nak. Kapan kamu mau akur?" Natasya masih mengelus punggung Kenzo, menenangkan amarah sang putra.

"Akur? Tunggu kiamat Ma, baru aku sama dia bakalan akur."

"Lihat Ra, aku udah berusaha buat nurutin permintaan kamu, tapi sepertinya kakak kamu yang sifatnya sekeras batu enggak pernah berniat damai."

Hilang sudah kesabaran Airin, ia yang biasanya diam akhirnya tersulut emosi. Airin marah dengan dirinya sendiri yang mampu membuat kekacauan hingga Kenzo dendam kepadanya, ia juga marah dengan waktu yang tak mampu memperbaiki keadaan.

"Apa? Batu? Gua batu untuk ngelindungin keluarga gua dari anak pembawa sial kayak lo!"

"Pembawa sial? Elo tahu apa sih hah?!" bentak Airin.

"Elo lupa bikin mama lo sendiri meninggal, hah?!"

"Elo tahu apa sih tentang gua dan mama gua?! Sekali aja Ken, elo mikir dulu sebelum ngomong, bisa? Elo tuh enggak tahu apa-apa," ujar Airin membalas tatapan tajam Kenzo.

"Seenggaknya kabar yang gua dengar itu benar, bahkan buktinya elo yang sampai sekarang takut nyentuh orang. Mama lo meninggal karena disentuh sama lo kan? Dan, semenjak itu elo pingsan saat disentuh atau menyentuh seseorang 'kan?"

"Sudah Kenzo, jangan dilanjutkan lagi. Kamu tahu, setiap kali kamu nyakitin Airin, hati Mama dan ayah juga terluka, bahkan kamu lihat Sakura sekarang? Dia bahkan takut sama kamu."

"Belain aja terus Ma, belain terus. Aku dengernya aja sampai enek!" Kenzo bangkit mengambil tasnya, matanya melirik Sakura. "Sakura berangkat aja sana sama anak pembawa sial itu, kalau sampai mobilnya kecelakaan, salahin tuh anak pembawa sial!"

"Kenzo!" Natasya memejamkan matanya, mencoba sesabar mungkin menghadapi Kenzo yang sifatnya hampir seperti mantan suaminya.

***

Don't Touch✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang