9

67 14 1
                                    

Sakura terus menempel di dekat Airin, bahkan gadis itu sering menghiraukan Kenzo yang mengajaknya untuk nonton bersama di bioskop. Sakura lebih bersemangat mengajak Airin ke taman, kabar baiknya Airin menerima ajakan itu. Walaupun setengah ogah.

"Kak Rin, minjam celana sama sepatu olahraga. Sakura mau lari pagi, Kak Airin mau ikut?" Dengan perlahan Airin turun dari kasurnya.

Hari minggu Airin tak ingin diganggu oleh siapa pun, termasuk Sakura. Tangan Airin membuka pintu lemari jati tua berwarna coklat, lemari itu dulunya milik sang mama yang telah meninggalkan Airin. Airin menangis kala furnitur yang berada di rumah diganti dengan furnitur yang baru, karena mama tirinya akan datang membawa kedua anaknya--Kenzo dan Sakura.

Hampir semua furnitur di kamar Airin peninggalan sang mama, mulai dari meja rias, lemari, hingga nakas yang berada di samping kasur.

"Pilih aja," titah Airin, tungkainya kembali melangkah menuju kasur, bersiap untuk kembali tidur.

Mulut Sakura terus saja mencerocos panjang lebar sembari berjalan mondar-mandir dari lemari ke meja rias bertujuan untuk mengetahui cocok atau tidaknya pakaian yang mau ia kenakan dengan tubuhnya.

"Kak, ini enggak ada yang ukurannya lebih besar sedikit?" Badan Airin memang lebih kurus dibandingkan Sakura, memudahkan Airin untuk melewati keramaian tanpa perlu merasakan sentuhan tanpa kesengajaan.

Airin mendengkus kesal, ia memgambil bantal cinta berukuran kecil dan melemparnya ke mana saja. "Emangnya aku buka toko pakaian?"

Sakura terkekeh kecil. Matanya berbinar kala mememukan celana olahraga yang ia mau, terselip di antara celana jin berwarna biru dongker dan celana bahan panjang berwarna hitam. "Kak, aku pinjam ini ya?" pinta Sakura sembari menunjukkan celana olahraga berwarna biru dongker dengan kantong di sebelah kanan dan kiri.

Airin bergumam tak jelas, gadis itu menyumpal telinganya menggunakan bantal. Matanya sedari tadi sudah terpejam, tinggal menunggu Airin berada di alam mimpi, tetapi Sakura tak memberikan kesempatan itu dengan mudah. Sedari dulu adiknya itu memang selalu merecoki kegiatan Airin.

"Kak, sepatu yang ini bagus banget. Kak Airin beli di mana?" Airin berdecak kesal, tetapi tak ayal ia turun dari kasurnya dan memperhatikan sepasang sepatu yang dipegang Sakura.

Tatapan Airin berubah sendu kala melihat sepatu pantofel berwarna hitam, yang dipegang Sakura. "Kamu kan mau minjam sepatu olahraga, kok malah tertarik sama sepatu itu?"

"Sakura cuman nanya sih, soalnya modelnya lucu. Ada pita kecil terus di sampingnya ada tulisan--" Sepatu yang Sakura pegang lebih ia dekatkan lagi ke sepasang matanya, ingin melihat tulisan apa yang tercetak di sepatu hitam pantofel itu.

"Punya mama dulu. Hampir semua barang di kamarku kepunyaan mama," jelas Airin.

Sepatu pantofel itu dipesan khusus sang mama untuk dipakai sekeluarga, tetapi sepatu Airin sudah tak muat lagi jika dipakai di umurnya yang sekarang. Sepasang sepatu miliknya  ia tempatkan di tempat aman, dirinya berhasil mengamankan sepatunya dan sepatu mama, tetapi ia tak bisa mencari sepasang sepatu kepunyaan sang ayah. Entah sudah hilang atau dibuang, tetapi kedua pilihan itu membuat Airin kecewa.

"Maaf Kak, Sakura kembalikan ke tempatnya," ucap Sakura dengan perasaan bersalah.

Sakura tahu, mama yang dimaksud Airin adalah ibu kandung kakak tirinya itu, hanya dari perubahan nada bicara Airin saat menjelaskan tentang sepasang sepatu pantofel yang ia pegang, Sakura sadar bahwa dirinya lagi-lagi salah mengambil langkah.

***

Langkahnya pelan, ada keraguan yang tersirat. Selagi Sakura olahraga di luar dan Kenzo sedang tidak di rumah, Airin berencana menemui mama tirinya.

"Kamu ngapain? Kayak orang mau maling aja." Airin berjingkat kaget, suara Natasya sukses membuat Airin malu.

Airin membalikkan tubuhnya, menghadap Natasya yang menatapnya aneh. Kepalanya menggeleng pelan, ia berujar dengan ragu, "Airin mau ketemu Mama. Mau ngobrolin sesuatu."

Dahi Natasya mengerut bingung, jarang sekali Airin memulai obrolan dengannya. Jika diingat, saat Airin baru saja kehilangan sosok seorang ibu, bibir gadis itu terkunci rapat, diam termenung menatap kedua telapak tangannya dengan pandangan kosong.

Natasya mengangguk ragu. "Mau di mana?"

Bibir bawahnya ia gigit pelan, ia sedikit ragu dengan keputusannya yang ia ambil. "Di mana aja."

"Perpustakaan mini?" Airin mengangguk, setidaknya ruangan itu jarang dihampiri oleh Kenzo atau pun Sakura.

Perpustakaan mini yang dibuat oleh Pram khusus untuk Airin, ruangan kecil itu tak diubah, karena Pram tahu bahwa ruangan itu salah satu sumber kebahagiaan Airin.

Ruangan kecil di lantai dua, berada di ujung lorong. Dengan pintu bercat putih, di depan pintu terdapat papan kayu berwarna coklat yang menggantung bertuliskan Ai, nama panggilan Airin dari mamanya saat ia kecil.

Di tengah ruangan perpustakaan mini terdapat meja berbentuk persegi yang menghalangi dua kursi. Airin dan Natasya duduk berhadapan, lidah gadis itu kelu kala matanya bertemu dengan mata Natasya.

"Kamu mau ngobrol apa?" tanya Natasya sudah tak sabaran.

"Airin mau--" jemari Airin bermain-main di atas meja, kalimat yang ingin ia ucapkan terasa sangat sulit keluar dari bibirnya.

"Mau apa?"

Ia memejamkan kedua matanya, menghela napasnya berat, semoga saja hidup Airin bisa lebih baik setelah keputusannya saat ini. Dengan perlahan kelopak matanya terbuka, ia berujar pelan, "Airin mau mencoba, menjadi seperti orang normal Ma."

***

Don't Touch✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang