10

207 30 11
                                    

Wajah Natasya berseri, ada binar harapan yang terpancar dari matanya. "Mama bakal bantu kamu lagi seperti dulu, asalkan kamu janji sama Mama, jangan lagi berhenti di tengah jalan."

Natasya adalah psikolog yang menangani Airin kecil saat kehilangan sosok seorang ibu. Gadis kecil itu hanya diam, pandangannya kosong, dan ia jadi takut disentuh oleh siapa pun. Bahkan, saat Airin mendengar kabar bahwa Natasya dan Pram akan menikah, gadis itu tak menunjukkan ekspresi apa pun.

Kedatangan Kenzo dan Sakura yang menjadi teman baru Airin, menjadi keputusan yang tepat bagi Natasya, karena Airin mulai berinteraksi sedikit demi sedikit. Hingga tragedi itu datang. Airin kembali menjadi sosok pendiam yang tak dapat disentuh, tetapi Natasya dan Pram sering mendapatkan gerak-gerik Airin yang peduli dengan keluarganya.

Kue brownies yang berada di kulkas saat ulang tahun Natasya dan Pram menjadi kado khusus yang disiapkan Airin. Hadiah misterius seperti jam tangan saat ulang tahun Kenzo yang tiba-tiba saja berada di kamar Kenzo, dibungkus dengan rapi. Obat-obatan yang Airin siapkan di dalam kotak P3K kebanyakan obat-obatan yang manjur di tubuh Sakura, bila gadis itu terserang penyakit.

"Mama jangan terlalu banyak berharap, Airin enggak tahu apa yang terjadi saat proses penyembuhan itu. Bisa aja, kejadian Sakura bakalan terulang lagi karena tangan ini." Airin menunjukkan kedua tangannya sembari tersenyum sendu.

Natasya mengangguk paham. "Manusia itu membutuhkan sentuhan, Sayang. Coba deh kalau suatu saat nanti kamu punya pacar, gimana coba cara peluknya?"

"Airin enggak berminat punya pacar."

"Loh? Kenapa?"

Airin memberengut, "Ayah sangat cuek, Kak Kenzo sangat kasar. Dua laki-laki yang berada di rumah ini sangat menyebalkan, Ma. Airin enggak suka."

Natasya tertawa, Pram sebenarnya sosok yang hangat, tetapi pria yang menyandang status suaminya itu berubah menjadi dingin kala melihat Airin yang semakin terpuruk. "Ayah sangat menyayangi Airin loh."

"Kalau ayah benar-benar sayang Airin, ayah enggak mungkin bersikap cuek."

Natasya hanya tersenyum kecil, gadis di hadapannya keras kepala, sama seperti Pram. Benar kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. "Ingat saat pengambilan buku penilaian kelas 10? Ayah sedang ada rapat di kantor, tetapi ayah bela-belain loh datang ke sekolah."

"Ayah telat lima belas menit."

"Ayah sudah berusaha sebaik mungkin, Nak." Natasya mengingat sesuatu, mungkin dengan cara ini pikiran gadis yang berada di hadapannya bisa ia berikan stimulus.

"Kamu tahu sepatu pantofel berwarna hitam? Ada tulisan dengan tinta putih yang menempel, Mama enggak tahu itu tulisan apa."

Wajah Airin berseri, ada perasaan bahagia yang menguar dari dirinya. "Sepatunya ada di mana, Ma?"

"Ada di kamar, disimpan di atas lemari. Waktu itu Mama beres-beres kamar, tiba-tiba kamar Mama sama ayah jadi berantakan, kayak abis gempa," ledek Natasya, ia tahu bahwa Airin lah pelaku yang membuat kamarnya seperti kapal pecah.

Airin memutar bola matanya kesal, kala mamanya mulai meledek. Dulu Airin memang tak mencari sepasang sepatu itu di atas lemari, karena dulu tingginya masih belum sampai.

"Mama mau kasih pesan, sentuhan itu memang penting, tetapi kalau diri kamu sendiri belum memiliki tekad untuk sembuh, maka enggak ada perubahan yang terjadi pada diri sendiri. Dengan niat kamu yang tadi kamu utarakan, Mama tangkap sebagai tekad awal."

"Kamu mencoba secara perlahan aja, jangan terlalu dipaksakan. Jika suatu saat diri kamu belum siap dengan sentuhan dan tidak sengaja terkena sentuhan oleh orang lain, coba untuk relaksasi. Mama sudah pernah mengajarkanmu dulu 'kan?"

Menstimulus pikiran dan relaksasi sudah Airin dapatkan dari Natasya saat kecil. "Ayah bersikap dingin, karena ia sedih melihat kondisi kamu yang belum ada kemajuan. Ayah sama kamu, masih merindukan hal yang sama, Sayang. Kenangan dulu. Pram rindu genggaman kecil dari anak perempuannya--Airin," ujar Natasya.

Airin menghela napasnya pelan. "Bagi Mama itu seperti stimulus, tetapi bagi Airin terdengar seperti harapan yang membuat beban Airin makin berat."

Natasya tertawa kecil. "Emang itu kan niat Mama," canda Natasya.

"Apa keputusan Airin benar, Ma?"

Natasya mengangguk. "Semangat melawan ketakutan terbesar kamu, Sayang!"

***

Don't Touch✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang