4

354 64 103
                                    

Airin menyendokkan nasi beserta lauk yang sudah ia potong ke dalam mulut, mengunyahnya pelan.

"Baru turun, Ra?" tanya Natasya yang melihat anak bungsunya baru saja tiba di ruang makan.

Airin menatap aneh penampilan Sakura, rambutnya memang sudah rapi, tak seberantakkan tadi, tetapi baju berlengan panjang, celana panjang, dan masker yang ia kenakan sangat mengganggu penglihatan siapa saja yang menatap penampilan Sakura malam ini.

"Kamu kenapa? Flu?" tanya Pram yang juga menatap aneh anak bungsunya itu.

Sakura mengangguk, ia mengambil nasi dan lauk yang sesuai dengan porsi makannya.

"Sakura makan di atas, ya?" pinta Sakura membuat Natasya bungkam lalu mengangguk kala melihat kedua mata Sakura yang memerah.

Selang beberapa menit, Kenzo ikut menyusul ke atas, meninggalkan piringnya yang masih menyisakan nasi dan lauknya yang belum habis ia nikmati.

Setelah Airin menghabiskan makan malamnya, ia mengambil gelas baru, menuangkan air putih yang berada di dalam teko.

"Gelas kamu masih ada isinya," ujar Pram memperingatkan Airin yang terus saja mengisi gelas tersebut hingga penuh.

"Buat Sakura, dia lupa bawa minum." Pram dan Natasya kompak tersenyum kecil, Airin diam-diam perhatian kepada adiknya.

***

Salah satu tangan Airin berniat mengetuk pintu yang sedikit terbuka, tetapi tertahan kala indra pendengaran Airin mendengar obrolan Kenzo dan Sakura yang berada di dalam kamar.

"Aku cuman minta kamu enggak buka mulut tentang hubungan darah di antara kita, Ra."

"Aku dirundung, Kak," adu Sakura di tengah isak tangisnya yang dengan susah payah ia redam.

"Aku bakalan selesaikan urusan kamu sama Catlyn."

Kepala Sakura semakin ia tundukkan dalam-dalam, Kenzo memang tak pernah melanggar janjinya, tetapi perlakuan tak adil yang Sakura rasakan mampu membuat luka mendalam di hatinya.

"Aku janji bakalan ngebuat masa putih abu-abu kamu enggak suram, Ra."

"Janji baka--" Kalimat Sakura terputus kala mendengar suara telepon pintar yang berdering.

Airin mengerjap, mengecek kantong celananya, tempat telepon pintarnya ia bawa. Kakinya melangkah menjauh dari kamar Sakura, ia menjawab panggilan itu tanpa melihat identitas sang penelepon yang mengganggunya malam-malam begini.

"Ini Airin 'kan?"

"Siapa?" tanya Airin setelah meneguk gelas yang ia bawa.

Niat baiknya gagal karena terhalang dua hal, Kenzo dan cowok yang meneleponnya malam-malam.

"Laksa, gua ganggu enggak?"

"Banget." Laksa tertawa di sana, mendengar jawaban ketus Airin.

"Maaf deh, gua ada info buat lomba cerdas cermat, berpasangan. Mumpung gua enggak ada pasangannya, elo mau enggak jadi pasangan cerdas cermat gua?"

"Enggak," jawab Airin dan langsung mematikan panggilan tersebut.

"Jadi pasangan cerdas cermat aja ditolak, gimana jadi pasangan sehidup semati," batin Laksa tertawa miris meratapi nasibnya.

"Galau amat, Bang." Abi menepuk salah satu pundak sahabatnya yang masih menatap layar telepon genggamnya.

Laksa mendelik kesal menatap Abi yang tak berminat menghibur dirinya saat ini.

"Apaan sih lo lihat-lihat, naksir?" tanya Abi risih saat Laksa menatapnya lambat laun, seolah memuja ketampanan wajahnya.

Laksa mendengkus, salah satu tangannya mendarat di bibir Abi, tak ingin mendengarkan pertanyaan Abi yang menjijikan.

"Kenzo mana?" tanya Laksa.

"Tahu deh, katanya sih udah jalan, mungkin jalan ke gerbang rumah."

"Tumben banget dia telat."

"Lo enggak mau nanya keberadaan jodoh sekelas lo?" pancing Abi, matanya mengerling jahil, menggoda sahabatnya yang sudah bergidik ngeri.

"Enggak usah sok jijik deh, biasanya juga peluk-pelukan," ledek Abi, bantal yang berada di sofa langsung mendarat mulus di wajah Abi.

"Gua jijik sama sikap lo, bukan jodoh gua. Yang elo maksud Airin, kan?" tanya Laksa dengan mata berbinar.

"Airin .., yang katanya kena penyakit kulit menular?" tanya Abi memcoba memastikan kabar simpang siur yang tersebar luas di sekolahnya.

"Mana ada coba kulit putih bercahaya kayak dia kena penyakit kulit, rangking doang lo tiga besar, tapi tahunya masih aja kemakan hoaks."

"Santai dong, otak gua ini ngapa lo yang sewot?" protes Abi. Tangannya mulai mencoba menelepon Kenzo, sahabatnya itu belum juga datang.

"Telepon sapa lo?"

"Kenzo, tuh anak belum datang juga. Enggak kecelakaan kan?"

"Mulut lo minta ditimpuk merecon ya?" Abi cengar-cengir sendiri, terkadang mulutnya memang tak bisa direm, tetapi perasaannya tak enak tentang kondisi Kenzo saat ini.

"Pilih kasih lo, Kenzo diteleponin, si Rama kagak lo telepon?"

Dahi Abi mengernyit. "Kan dia jodoh sekelas elo, Bambang! Teleponin sono, temennya belum datang tuh dicariin, jangan lempeng aja kayak pantat dandang emak gua."

"Sialan, disamain sama pantat dandang, ketampanan gua ternodai dong?!" protes Laksa sembari melempar barang-barang yang ada di sekitarnya. Abi menghindar, dengan lihai ia menghindari lemparan barang itu hingga mendekati akses keluar-masuk kamar Laksa.

"Punya temen kok gak ada yang waras," keluh Kenzo saat tak sengaja lemparan sepatu Laksa mendarat di wajahnya.

"Eh ada Babang Kenzo, sumpah sepatu gua ini melayang sendiri, mungkin dia enggak sabar punya pemilik kayak lo atau lo mau sepatu ini? Gua kasih secara percuma deh," ujar Laksa tergesa-gesa menghampiri Kenzo yang menahan amarah.

***

Don't Touch✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang