Chapter 6

62 5 0
                                    

Bel pintu berbunyi tepat ketika ia mengoleskan lipstik. Sae Rin tersenyum karena sudah memesan pizza untuk dirinya sendiri sebagai hadiah. Seminggu sekali, apa salahnya? Dengan mulut berliur, ia pergi membuka pintu. Tidak masalah bahwa ia hanya mengenakan handuk karena restoran cepat saji itu memperkerjakan wanita untuk mengantar pesanan di wilayah itu.

Tetapi ketika Sae Rin membuka pintu, ia terkejut. Jimin berderap masuk ke ruang depan tanpa menunggu dipersilahkan.

"Kukira kau pizza pesananku," gumam Sae Rin, takjub karena pria itu datang lebih awal, lalu kembali terkejut karena pengaruh kehadiran pria itu.

Sae Rin menatap mata gelap menakjubkan itu dan terpesona. Kalau aku boleh mengajukan tiga permintaan, permintaanku adalah dia... dia... dan dia, pikir Sae Rin pusing, jantungnya berdebar sangat kencang. Ketegangan membuat tubuhnya kaku dan sesak napas. Lampu tinggi dari besi mamancarkan cahaya remang-remang yang menyinari rambut hitam tebal yang disibakkan dari alis Jimin, menegaskan kehalusan tulang pipinya yang keras, dan menetap di lekukan bibirnya yang tegas dan maskulin.

Tubuh Jimin yang ramping dan berotot tebungkus setelan resmi abu-abu gelap yang dijahit agar pas dengan fisiknya yang kuat. Kulit putih Jimin membuat pria itu sangat menarik. Dan bertatapan dengan mata itu, mata luar biasa yang membuat Sae Rin tidak bisa mengalihkan pandangan, Sae Rin merasakan ketegangan yang meresahkan menjalari dirinya, membuat setiap ototnya menegang. Tetapi tubuh Sae Rin dibanjiri sensasi cair yang hangat, membuat ia sangat menyadari payudaranya yang berat dan puncaknya yang secara memalukan tiba-tiba menegang.

"Pizza..." gumam Jimin serak, membeku di tempat ketika melihat Sae Rin.

Kemana semua pehatianku pada kunjungan sebelumnya? Tanya Jimin pada diri sendiri dengan perasaan tidak percaya yang kuat. Mata wanita itu cokelat, campuran antara cokelat dan keemasan yang berubah-ubah sesuai dengan cahaya. Dan wanita itu memiliki jenis rambut seperti yang dimiliki putri duyung dalam dongeng, rambut panjang cokelat yang tergerai di bahunya dalam ikal-ikal tebal indah. Tetapi tidak ada satu pun makhluk laut legendaris yang bisa menyaingi tonjolan payudara halus yang tertutup handuk itu atau lekukan tubuh yang seperti jam pasir itu. Bahkan ketika Jimin merasa dirinya bergairah karena respon maskulin yang kuat terhadap bayangan sensual itu, ia berusaha mengendalikan diri. Jimin tahu ia sudah terlalu meremehkan lawannya dan itu merupakan kesalahan yang jarang dilakukannya. Ia ingin merobek handuk itu, mendorong wanita itu ke dinding, dan menyatukan tubuhnya dengan tubuh wanita itu. Ia ingin menyerahkan diri pada gairah liar dan mendesak yang tidak pernah dibayangkannya lagi sejak remaja. Dan mungkin Jimin akan melakukannya, setelah mendapatkan apa yang ia inginkan.

"P-pizza," Sae Rin tergagap seperti gema yang datang terlambat, bingung karena keheningan yang memekakkan, ketegangan yang nyaris menyakitkan dan panas di dalam tubuhnya, kekosongan pikiran yang sangat menakutkan.

"Apa kau berencana melepaskan handuk itu?" tanya Jimin lembut. "Ataukah kau hanya menggoda?"

Rona panas membakar leher Sae Rin dalam bentuk gelombang dan menjalari pipinya sementara ia mengalihkan mata yang terbelalak dari tatapan tajam Jimin yang menusuk. Ia menunduk menatap diri sendiri dengan terkejut, mencerna kenyataan ia benar-benar masih berdiri dengan gugup beberapa meter dari pria itu, hanya terbalut handuk. Sambil menahan erangan malu, Sae Rin bergerak dengan terburu-buru ke ruang ganti.

Setelah itu, Sae Rin tidak pernah tahu bagaimana semua itu terjadi tetapi ketika ia tanpa sengaja menyenggol Jimin, pria itu mencengkram Sae Rin, sebelah lengannya terangkat ke rambut Sae Rin, dan satunya lagi diletakkan di pinggul Sae Rin. Mata cokelat Sae Rin yang terkejut bercahaya keemasan dan rasanya seakan kembang api meledak dalam dirinya, membuatnya terbakar.

"Gagapmu terlalu berlebihan...." kata Jimin parau, giginya yang putih dan rata tampak ketika ia menyunggingkan senyum mengejek kepada Sae Rin, "Tetapi undangan selamat datangnya luar biasa___"

"Kau salah!" Sae Rin tercekat, semua pengendalian dirinya runtuh.

"Kurasa tidak... aku benci terdengar seperti bajingan, tapi para wanita melemparkan diri mereka kepadaku sejak aku masih remaja."

Dan sebelum Sae Rin bisa mencerna penegasan tak tahu malu itu, mulut Jimin yang sensual diturunkan dengan panas ke arah mulut Sae Rin. Kesenangan kuat timbul pada diri Sae Rin dalam nyala api berbagai warna yang sangat besar. Sambil mengulurkan tangan, Sae Rin mencengkram lengan Jimin agar bisa tetap berdiri tegak. Sae Rin merasa seakan dirinya jatuh, jatuh begitu cepat dan tak terkendali hingga ia akan terbakar sebelum bisa kembali menginjak tanah. Dan tidak ada yang penting, selain kedekatannya dengan Jimin. Sae Rin berada dalam negeri ajaib dari penjelajahan sensual, terkesiap merasakan serbuan lidah Jimin yang mendesak di bagian dalam mulutnya yang lembut, gemetar liar, mendambakan Jimin memeluk dan mendekapnya erat-erat.

Sae Rin mendengar bunyi bel pintu dengan kesadaran yang datang terlambat hanya ketika Jimin menegang lalu menarik diri.

"Oh... astaga..." gumam Sae Rin, mengerjap dengan cepat lalu menyerbu ke ruang ganti di belakang Jimin seperti kucing yang terbakar.

Sambil mengunci pintu, Sae Rin menyandarkan diri di sana, gemetar gugup. Cermin yang dikelilingi lampu di depannya memantulkan bayangannya sendiri. Sae Rin mengernyit ngeri dan memerhatikan mulutnya yang bengkak, pupilnya yang membesar, dan ekspresi kaget serta terperanjat yang masih tampak jelas. Bagaimana aku bisa keluar ke sana dan bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa? Teriak pikiran pertama dari otak Sae Rin yang baru mulai berfungsi.

Jimin juga mengira Sae Rin sengaja memamerkan diri dalam handuk. Jenis tindakan tak tahu malu yang akan dilakukan wanita tak bermoral. Atas kesadaran itu, Sae Rin bahkan lebih malu lagi, tetapi selain perasaan tidak menyenangkan itu ada hal baru yang ia ketahui. Sae Rin benar-benar tidak pernah mengira seorang pria bisa membuatnya merasa seperti itu. Ada perasaan tanpa malu yang masih mencengkram dirinya: sebuah ciuman panas bisa membuat Sae Rin melupakan segalanya. Siapa dirinya, siapa pria itu, segalanya. Kelihatannya juga sangat kejam karena Sae Rin harus menyadari semua itu dengan Park Jimin. Sebenarnya, bisakah ada hal lain yang lebih menjengkelkan? Selama ini ia selalu bertanya-tanya kenapa kebanyakan majalah wanita meributkan masalah seks seolah-olah itu sesuatu yang luar biasa menarik sementara pengalaman pribadi Sae Rin yang sedikit mengajarkan sebaliknya.

Lalu pria yang Sae Rin benci seperti racun itu mencengkramnya dan menunjukkan bahwa kenikmatan mungkin sebenarnya bukan penipuan besar-besaran yang dilancarkan kepada para wanita. Berani-beraninya dia melakukan hal seperti itu kepadaku? Pikir Sae Rin kepada diri sendiri. Apa gunanya menyadari seorang CEO perusahaan nomor satu se Asia memiliki kesempatan yang sangat besar untuk membujukku meninggalkan kehidupan selibat? CEO sialan, pikir Sae Rin sekali lagi, matanya perih karena air mata.

Pria itu datang untuk bicara tentang Min Jae, Sae Rin mengingatkan diri sendiri. Dengan wajah pucat, ia memaksa diri sendiri bergerak dan membuka pintu diam-diam serta tanpa suara, lalu menekan pegangan pintu pelan-pelan dan mengintip ke ruang depan melalui celah keci. Sepertinya aman. Apakah pria itu sudah pergi? Sae Rin menyelip keluar lalu berlari lebih cepat dari pada kecepatan cahaya di sepanjang koridor menuju kamar tidurnya untuk mencari pakaian.

Sae Rin mengenakan T-shirt kebesaran dan rok jersey yang hampir menutup pergelangan kaki, dan memakai sepatu bersol tebal. Selama berpakaian, ia mencoba mencari pembenaran atas apa yang sudah terjadi di antara mereka. Jimin mengambil kesempatan ketika dirinya tidak siap. Sae Rin kehilangan akal sehatnya untuk sementara karena fakta sederhana bahwa pria itu tampan. Tetapi pria itu hanya perlu berbicara dan daya tarik mistisnya akan hilang, jadi Sae Rin takkan mungkin mempermalukan diri sendiri lagi. Jadi para wanita selalu melemparkan diri kepada pria itu... oh, pria yang malang, bagaimana pria itu bisa bertahan karena begitu dipuja? Pria itu memiliki ego yang sangat besar dan Sae Rin rela melakukan apa pun demi menghancurkannya.

***

To Be Continue

The Heirs Wife (Serial Sister Brides Book#1) [Complete] ✅Where stories live. Discover now