Chapter 9

64 7 0
                                    

Setelah tidak bisa tidur semalaman, Sae Rin bangun sangat pagi keesokan harinya.

Setiap menit terakhir yang dihabiskannya bersama Min Jae kini terasa sangat berharga. Sae Rin duduk mengamati anak itu melahap sarapan kesukaannya, telur rebus dengan roti panggang, dan ternggorokan Sae Rin begitu tercekat sampai sakit rasanya. Ia mengamati wajah mungil Min Jae yang bulat, dua pasang bulu mata Min Jae yang lentik, kulit bayi halus Min Jae yang masih merona karena baru bangun tidur, dan Sae Rin benar-benar berpikir hatinya akan hancur.

Semalam, Sae Rin membiarkan dirinya sibuk memikirkan ciuman tolol itu, mungkin karena lebih mudah berkonsentrasi pada kebodohan tersebut daripada menghadapi dan mengatasi perasaan kehilangan anak yang ia sayangi. Tetapi Min Jae bukan miliknya, Min Jae takkan pernah menjadi miliknya, dan entah bagaimana ia harus belajar menerima itu dan mundur. Rasa sakit yang dirasakannya sendiri. Selama masa pelatihan, ia sudah diperingatkan untuk tidak membuat kesalahan dengan melupakan bahwa anak yang dijaganya punya ibu dan ia hanyalah pengasuh sementara yang tanpa terelakkan lagi akhirnya akan pindah ke keluarga lain. Tetapi Sae Rin tidak bisa menuruti peraturan itu. Min Jae mengharapkan kasih sayang dari Sae Rin dan ia memberikan kepada anak itu. Sae Rin merasionalisasi bahwa seseorang harus memberi kompensasi kepada Min Jae atas ketidakhadiran Hye Rin, keengganan Hye Rin untuk membuat komitmen, dan memberikan apa yang dibutuhkan anak itu untuk tetap bertahan.

Sae Rin-lah yang selama berjam-jam duduk di samping inkuator Min Jae pada minggu-minggu pertama hidup Min Jae yang mengkhawatirkan. Sae Rin-lah yang akhirnya memberinya nama yang sama dengan nama kakek dari sisi ayah mereka ketika Hye Rin berkata dia tidak peduli apa panggilan untuk si anak. Mata Sae Rin berkaca-kaca sementara ia memaksakan seulas senyum demi kebaikan Min Jae dan mencuci tangan serta mulut anak itu. Sae Rin mendapati dirinya mengingat kembali kenangan awalnya tentang Hye Rin.

Ketika ayah Sae Rin yang sudah menduda membawa pulang sepupu Sae Rin yang yatim piatu, Sae Rin merupakan anak delapan tahun yang kesepian. Bahkan pada saat itu, Hye Rin gadis yang sangat cantik dengan wajah bagai peri, mata kucing, dan rambut cokelat gelap halus. Ia juga memiliki pesona yang luar biasa. Ia punya kekuatan untuk membuat ayah Sae Rin yang pemurung tertawa dan pintar menghapus suasana hati ayah Sae Rin yang buruk. Mengagumi Hye Rin karena semangat dan rasa percaya dirinya, Sae Rin dengan senang hati membiarkan Hye Rin menjadi tokoh penting.baru setelah dewasa Sae Rin menyadari bahwa di balik semua kilau palsu itu, Hye Rin nyaris tidak bisa merasa bahagia atau benar-benar aman lebih dari dua jam.

Tujuh tahun kemudian, timbul skandal yang sangat besar ketika Hye Rin melarikan diri dengan suami salah seorang tetangga. Ayah Sae Rin marah besar karena malu yang tak tertahankan. Hanya beberapa minggu kemudian, si suami yang ketakutan diam-diam pulang dengan perasaan malu. Hye Rin juga melakukan hal yang sama, hanya saja pintu dibanting di depan wajahnya oleh sang paman. Hati Sae Rin hancur malam itu. Ia melihat kekagetan dan perasaan tidak percaya di wajah Hye Rin, gadis yang sama sekali tidak pernah memikirkan konsekuensi atau bagaimana tindakannya mungkin memengaruhi kehidupan orang lain.

Tetapi setahun kemudian, Hye Rin mengunjungi mereka lagi. Terlihat sangat glamor dan menyesal. Ia seketika mendapatkan maaf dari pamannya dan menceritakan kisah-kisah tentang kehidupannya yang menyenangkan sebagai model sukses. Akhirnya Sae Rin menyadari kisah-kisah itu penuh dengan kebohongan karena fakta bahwa Hye Rin bergantung pada para kekasihnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sama sekali tidak bisa diterima.

Pada usia sembilan belas tahun, Sae Rin mengikuti pelatihan untuk menjadi pengasuh anak dan, beberapa saat setelah itu, hubungan dengan sepupunya menjadi hanya sebatas hubungan telepon yang jarang. Tetapi ketika ayah Sae Rin meninggal dunia, Hye Rin datang keupacara pemakaman, pucat, hamil, dan sama sekali tak tampak sehat. Kedua sepupu itu mengalami reuni yang emosional. Hye Rin meminta Sae Rin datang dan tinggal bersamanya serta membantu dia melewati sisa masa kehamilannya.

Sae Rin tidak berpikir dua kali tentang keputusannya. Saat itu ia baru saja menyelesaikan pekerjaan pertamanya sebagai pengasuh dan, setelah kematian ayahnya, ia siap mengahadapi perubahan. Hye Rin benar-benar sakit, menderita karena rasa mual yang terus-menerus dan ancaman keguguran tanpa henti. Hye Rin menghabiskan minggu-minggu terakhir sebelum kelahiran Min Jae dengan berbaring di rumah sakit, satu-satunya pengunjung Hye Rin hanya Sae Rin.

Jadi, sampai ke tahap tertentu, Sae Rin memahami penolakan Hye Rin untuk menjalin ikatan dengan anak kecil di dalam inkubator itu. Dalam banyak hal, Hye Rin belum benar-benar dewasa. Seperti anak kecil yang baru saja keluar dari sekolah, satu-satunya pikiran Hye Rin setelah melahirkan adalah mengembalikan bentuk tubuhnya seperti semula dan menghadiahi diri sendiri untuk menebus segala rasa sakit dan kebosanan selama berbulan-bulan. Dalam benak Hye Rin, Min Jae sudah terlalu banyak mengganggu kehidupannya.

"Kau pikir kenapa aku membawamu ke sini untuk menjagaku?" tanya Hye Rin ketika Sae Rin mencoba memprotes sikapnya. "Aku tahu kau akan melakukan apa yang seharusnya kulakukan. Kau bisa menjadi ibu penggantinya."

"Tapi dia butuh kau untuk menyayanginya."

"Kurasa satu-satunya orang yang pernah kusayangi adalah kau," sela Hye Rin pendek.

Sae Rin ditarik dari kenangan yang menyakitkan oleh bunyi bel. Jam masih belum menunjukkan pukul sembilan pagi dan si pengasuh sudah datang untuk menjemput Min Jae, jauh lebih pagi daripada yang diharapkan Sae Rin. Wanita muda itu memperkenalkan diri sebagai Kang Mi Na. Dia wanita berusia dua puluhan dengan tubuh ramping dan rambut cokelat, Mi Na bersikap sangat kaku dan tampak enggan untuk bahkan menatap wajah Sae Rin serta langsung memutuskan perhatian pada Min Jae.

Sae Rin tetap berdiri gugup di tempat dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang makanan kesukaan dan rutinitas Min Jae yang ditanyakan dengan profesionalisme meyakinkan. Ia memarahi diri sendiri karena merasa tidak nyaman dengan sikap si pengasuh yang kurang bersahabat. "Ke mana kau akan membawa Min Jae?" tanya Sae Rin, mencoba terdengar santai.

"Aku belum menerima instruksi." Mi Na berlutut di lantai untuk mengamati Min Jae dengan sikap yang seolah-olah menunjukkan anak itu nyaris bisa dianggap sebagai makhluk suci dan bisa dikatakan memohon mainan yang dipegang anak itu. "Dia anak laki-laki yang paling tampan."

Min Jae tidak terpengaruh oleh gelombang besar pujian yang diajukan ke arahnya. Dengan wajah berseri-seri, ia mengulurkan mainannya kepada si pengagum. Sae Rin merasa kehadirannya tak berarti dan berusaha berkata pada diri sendiri bahwa ia senang Mi Na pintar menghadapi anak-anak. Beberapa saat kemudian ketika sudah mendapatkan kepercayaan Min Jae. Mi Na berbalik dan membuka pintu depan sekali lagi. "Selamat tinggal," katanya sambil menggenggam tangan Min Jae. "Bilang selamat tinggal, Min Jae."

"Bye.." gumam Min Jae lalu tiba-tiba menarik tangan dari wanita berambut cokelat itu, membuatnya terkejut sementara ia berlari kembali ke Sae Rin untuk menuntut, "cium aku!"

Sambil menelan ludah dengan susah payah, Sae Rin mendekap erat-erat tubuh kecil Min Jae yang hangat dan menggeliat-geliat. "Kalau suasana hatinya buruk, tolong hubungi aku. Aku bisa memberi saran," kata Sae Rin gemetar.

Dengan anggukan yang mungkin menyatakan persetujuan, Mi Na keluar ke ruang depan. Sae Rin menatap dua pria berpenampilan tegas dengan rambut cepak yang pasti berdiri di luar pandang ketika si pengasuh tiba. Pengawal, asumsi Sae Rin, dan mereka sudah membuka lift serta menunggu. Ketika Min Jae masuk ke lift, ia melirik ke belakang dan tersenyum lebar kepada Sae Rin, jelas tampak bangga dengan kemandiriannya.

Anak yang penuh percaya diri memang gampang mempercayai orang lain, pikir Sae Rin sedih ketika Min Jae menghilang dari pandangan. Sae Rin kembali ke apartemen, nyaris dibutakan air mata yang membanjiri matanya. Ia seharusnya merasa bangga. Ia telah mengajari Min Jae untuk bersikap percaya diri, membawa anak itu ke taman kanak-kanak sejak masih kecil, dan mendorongnya bergaul dengan anak-anak juga para pengasuh lain yang kadang-kadang ditemuinya.

Itu hari paling lambat dan paling panjang dalam hidup Sae Rin. Ia terus berusaha berkonsentrasi tentang bagaimana cara terbaik untuk menjelaskan samaran singkatnya sebagai Hye Rin kepada Jimin. Apakah pria itu akan memahami kejutan dan kecemasan yang menjadi pendorong awal Sae Rin bersandiwara? Apakah dia akan mengenali dan menentang keras ikatan istimewa antara Sae Rin dan keponakan pria itu? Dan apakah dia akan bersikap adil serta penuh pengertian? Atau apakah pria itu akan berjalan keluar lagi bersama Min Jae, takut akan intervensi apa pun dari Sae Rin?

***

To Be Continue

The Heirs Wife (Serial Sister Brides Book#1) [Complete] ✅Where stories live. Discover now