Sae Rin berjalan kembali ke ruang depan, sangat berharap pria itu tidak sedang menunggunya. Tetapi pria itu tak bijaksana, tak tahu malu, dan memiliki kepercayaan diri yang bisa memastikan bahwa Titanic-lah yang menenggelamkan bongkahan es serta bukan sebaliknya. Di sanalah pria itu, tampak dua kali lebih percaya diri di tempat yang tak Sae Rin inginkan, ruang tamu yang sudah jarang Sae Rin masuki sejak kematian Hye Rin. Tetapi pria itu sudah menemukan lingkungan alaminya sendiri, bukan? Ia terlihat lebih santai di sini, di tengah-tengah perabotan yang mewah, tirai-tirai berat berumbai, dan dekorasi berlebihan.
"Pizzamu..." sambil menunjuk kotak pipih di meja kopi, Jimin tersenyum pelan dan menusuk yang membuat jantung Sae Rin seakan berhenti berdebar dan mengungkapkan terlalu banyak hal yang tidak ingin Sae Rin ketahui.
"Dengar, aku tidak tertarik padamu!" Sae Rin mendengar dirinya sendiri berkata dengan keberanian mengejutkan sebelum sempat memikirkan tindakannya. "Jadi kau tidak perlu lagi terlihat begitu puas pada dirimu sendiri karena apa yang terjadi di ruang depan sana merupakan salah satu tindakan konyol dan aku tidak akan mungkin tergoda untuk melemparkan diriku kepadamu! Tidak mungkin kecuali aku melakukan transplantasi otak."
Pria itu tidak mengatakan apa-apa. Jimin balas menatap Sae Rin dengan ketenangan terkendali dalam keheningan yang menyusul bahkan pada detik pertama, dan hal itu berakibat seperti lengkingan alarm di saraf-saraf Sae Rin pada detik kesepuluh.
Sae Rin bisa merasakan wajahnya memanas seperti api unggun. Dalam waktu sepuluh detik, ia berubah dari posisi bertahan menjadi mengkerut malu. Apa yang sudah terjadi padaku? Sae Rin bertanya-tanya dalam hati. Bukannya mengabaikan apa yang baru saja terjadi, aku malah mengungkitnya kembali dan menyerang Jimin seperti remaja yang ingin menyelamatkan muka.
"Mari kita bahas masalah keponakanku," akhirnya Jimin bergumam dengan suaranya yang dalam, dan ditarik-tarik. "Silahkan nikmati pizzamu."
Sae Rin membayangkan judul berita utama imajiner: "Seorang CEO dihantam sampai tewas dengan kotak pizza". Sae Rin membenci pria itu, oh, astaga, ia benar-benar membenci pria itu. Setiap kali Jimin membuka mulut, dia membuat Sae Rin merasa konyol, dan baru saja pria itu membuktikan bahwa dia bahkan tidak perlu berbicara untuk mencapai hal itu, Sae Rin menjatuhkan diri di sofa yang sangat besar. Perutnya bergemuruh dan tubuhnya menegang malu lalu menatap lubang di kotak pizza. Sae Rin memiliki selera makan yang sehat dan sedang kelaparan, tetapi ia yakin kalau ia mulai makan pria itu akan menatapnya dengan tatatapan mencemooh.
Tetapi harus digaris bawahi, pria itu sudah mencium Sae Rin, bukan? Kepala Sae Rin yang tertunduk sedikit terangkat. Sudah jelas pria itu tidak menganggapnya tak menarik. Pasti ada semacam ketertarikan dari pihak pria itu. Mungkin dia menyukai wanita yang tidak hanya berupa kulit terbalut tulang. Itu pikiran yang menggoda hingga dalam sekita Sae Rin membayangkan dirinya berbaring dan disuapi makanan penutup oleh pria yang memujanya, yang akan mati kalau Sae Rin mengungkit-ungkit masalah diet. Ada apa denganku? Demi Tuhan, mungkin ini pembicaraan paling penting dalam hidupku, karena Min Jae memang hidupku, dan pikiranku dipenuhi omong kosong! Sae Rin memarahi diri sendiri.
"Aku tahu kau memperkerjakan pengasuh untuk keponakanku," komentar Jimin tanpa basa-basi. "Dimana dia?"
Bertanya-tanya bagaimana Jimin sepetinya tahu banyak tentang kehidupan Hye Rin tetapi tidak tahu bahwa wanita itu sudah meninggal, Sae Rin menegang lalu memaksa diri menatap pria itu. "Ada masalah keluarga darurat yang harus dia selesaikan sekarang. Dengar... kau bilang kau ingin mengambil alih tanggung jawab atas Min Jae. Aku ingin tahu kenapa."
Jimin menatap Sae Rin dengan mata hitam yang sipit. "Dia keponakanku."
"Tapi kakakmu ingin keberadaan Min Jae dirahasikan. Sepertinya dia tidak ingin memiliki keterlibatan lebih jauh dengan Min Jae." Sae Rin memilih kata dengan hati-hati.
"Aku tidak akan bekomentar tentang keputusan mendiang kakakku," gumam Jimin, rahangnya menegang. "Itu tidak pantas."
"Tapi menurutku bukan hal yang tidak masuk akal kalau aku bertanya kenapa kau tiba-tiba ingin memberikan rumah bagi Min Jae," desak Sae Rin.
"Aku memiliki laporan atas gaya hidupm akhir-akhir ini."
Secara naluriah langsung membenci nada angkuh itu sama seperti membenci berita bahwa detektif pribadi mengintip kehidupan Hye Rin tanpa sepengetahuan almarhum sepupunya, Sae Rin mengangkat dagu dan tanpa daya berkata dengan defensif, "Hebat sekalu kau!"
Jimin menatap Sae Rin muram. "Laporan itu menyatakan dengan jelas bahwa kau ibu yang buruk. Kau selalu meninggalkan keponakanku di bawah pengawasan seoran pengasuh, kadang-kadang selama enam minggu berturut-turut. Ketika kau ada di rumah, kau mengadakan pesta liar untuk teman-teman pemabukmu. Polisi sudah pernah dipanggil lebih dari sekali untuk menyelesaikan perkelahian di alamat ini."
Wajah Sae Rin memerah oleh rasa malu mendadak karena semua itu benar dan memalingkan wajah sejenak, tidak sanggup lagi menatap mata Jimin yang menantang. Sae Rin masih ingat terbaring gugup dengan mata terbuka di balik pintu yang dikunci bersama Min Jae pada malam ketika Hye Rin mengadakan pesta pertamanya sejak kelahiran Min Jae. Para tetangga mengeluh kepada polisi tentang keributan dan tindakan menyinggung yang dilakukan para tamu pesta. Ketika, pada malam setelahnya, seseorang mencoba memaksa masuk ke kamar tidur itu, Sae Rin sangat ketakutan. Setelah pengalaman itu, setiap kali Hye Rin memutuskan mengadakan pesta, Sae Rin membawa Min Jae ke rumah Jessica dan bermalam dengan tenang di sana bersama anak itu.
"Aku..." Sae Rin menelan ludah dengan susah payah, bertanya-tanya apa yang bisa ia katakan untuk membela sepupunya, tetapi sedikit sekali yang bisa Sae Rin katakan mengenai ketidak hadiran Hye Rin yang terus menerus dan pesta-pesta liar itu. "Aku tahu kelihatannya buruk__"
"Kelihatannya jauh lebih parah dibanding buruk," sela Jimin dengan nada merendahkan. "Sudah jelas kau tidak pantas menjadi ibu dan tidak memedulikan kesejahteraan anakmu. Putra Jung Soo merupan seorang Park. Kehormatan menuntut agar kami mengakui tanggung jawab kami padanya sekarang."
"Dan siapa yang kau maksud dengan 'kami'?" desak Sae Rin, karena tahu pria itu masih lajang setelah melihat situs keluarga mereka. Malah ada penekanan terhadap masalah ahli waris yang masih belum menikah. Mungkin mereka dengan halus mengiklankan pria itu, berharap seorang putri dari keluarga terhormat akan menawarkan diri menjadi calon Ny. Park.
"Keluargaku," kata Jimin bangga.
"Tapi kau masih lajang dan anak kecil membutuhkan sosok ibu," Sae Rin menjelaskan dengan sedikit rasa puas.
Struktur tulang Jimin yang indah itu menegang. "Aku memiliki banyak kerabat dalam lingkungan keluarga besarku. Kuharap salah seorang dari mereka akan menawarkan rumah yang baik untuk keponakanku."
"Tapi bukan kau," kata Sae Rin, marah mendengar Min Jae akan dengan mudahnya diserahkan kepada pihak pertama yang bersedia menerimanya.
"Karena aku belum menikah, akan terlihat sangat mencurigakan kalau aku tiba-tiba memiliki anak entah dari mana dan mengumumkan aku bermaksud membesarkannya. Aku bahkan tidak berada dalam posisi untuk mempertimbangkan kemungkinan itu." Jimin menatap Sae Rin dengan sorot tidak sabar, mulutnya terkatup rapat. "Kalau aku sudah beristri dan dia bersedia bersandiwara, kami mungkin bisa menyatakan anak itu sebagai kerabatnya yang sudah yatim piatu. Tapi saat ini, itu bukan pilihan."
Jadi, walaupun pria itu paman Min Jae, dia tidak akan terlibat secara pribadi dalam masa depan keponakannya. Sae Rin merasa kecewa. Tawaran seperti ini sama sekali berbeda dengan apa yang ia harapkan.
"Kau harus mengerti bahwa latar belakang orangtua keponakanku harus dirahasiakan demi kebaikannya sendiri. Anak yang tidak sah menjadi aib," Jimin melanjutkan dengan muram. "Sudah sewajarnya kami juga berharap bisa menghindari skandal yang akan menimbulkan rasa malu luar biasa terhadap kularga Jung Soo."
***
To Be Continue
YOU ARE READING
The Heirs Wife (Serial Sister Brides Book#1) [Complete] ✅
RomanceSINOPSIS : Setelah kematian sepupunya, Sae Rin memutuskan menjadi wali asuh Min Jae, anak sepupunya. Bagaimanapun, Sae Rin sangat menyayangi Min Jae dan sudah menjaga anak itu sejak dia lahir. Namun hati Sae Rin hancur ketika Jimin, paman Min Jae...