Sementara siang terus berjalan lambat, Sae Rin mulai merasakan ketegangan di perutnya yang kosong. Ia hanya bisa makan secuil roti panggang saat sarapan dan tidak sanggup makan siang. Well, Jimin sudah bilang bahwa pengasuh Min Jae akan menghabiskan hari itu bersama Min Jae dan sepertinya itu berarti sepanjang hari. Dalam hati, Sae Rin merasa senang karena suasana hati Min Jae tidak memburuk hingga tidak perlu dibawa pulang lebih cepat, tapi ia juga terkejut. Min Jae tidak terbiasa beraktivitas tanpa Sae Rin dan kalau anak itu kelelahan, ia biasanya suka merajuk. Tetapi tidak diragukan lagi Mi Na sudah membanjiri anak itu dengan hal-hal yang menarik untuk mengalihkan perhatiannya, atau mungkin Min Jae diizinkan tidur siang yang sangat lama.
Ketika bel pintu berbunyi pada pukul lima lewat sedikit, Sae Rin nyaris mematahkan lehernya sendiri karena terlalu terburu-buru membuka pintu. Ia mundur selangkah dari pintu karena terkejut ketika melihat Jimin berdiri dengan pengawal di belakangnya. "Apakah Min Jae menunggu di mobilmu?" Sae Rin bertanya. "Dia pasti sangat kelelahan sekarang."
"Hye Rin..."
"Sae Rin," Sae Rin mengoreksi tanpa berpikir, karena ketika mundur secara otomatis untuk membiarkan pria itu masuk, ia terlalu sibuk mengamati mata Jimin yang tampak menyembunyikan sesuatu, struktur tulang luar biasanya yang kaku, dan ketegangan yang dipancarkan pria itu dengan jelas.
Sementara pengawalnya berjalan melewati pria itu, Jimin melihat wanita itu lagi-lagi mengintip ke luar pintu, jelas-jelas masih menunggu anak kecil yang kini sudah berada ribuang kilometer jauhnya. Jimin bisa merasakan ketidaksabaran wanita itu, melihat kebingungannya. Jimin mengalihkan perhatian dari wanita itu dengan perasaan malu yang terasa baru baginya dan sama sekali tidak diinginkan oleh pria yang membanggakan prinsipnya. Tetapi hatinya mencelos mengingat tugas yang harus ia hadapi: bagaimana menjelaskan tindakan yang tidak bisa dimaafkan menjadi sesuatu yang cukup bisa diterima. Karena kalau Jimin tidak bisa menenangkan wanita itu, skandal terbesar yang ada akan terkuak dan ia takkan mungkin bisa melindungi keluarganya dari badai kritik internasional. Wanita itu belum memberikan persetujuan resmi untuk menyerahkan anaknya.
Tepat pada saat itu, Jimin tidak yakin ia bisa menghormati ayahnya lagi. Memberikan perintah seperti itu tanpa memikirkan akibatnya! Media-media sudah pasti akan mengekspos rahasia kehidupan ganda Jung Soo dan melumuri setiap keluarga Park dengan rasa malu dan aib yang mendalam. Keluarga yang dicintai Jimin dengan setiap tarikan napasnya akan menderita. Benar adalah benar dan salah adalah salah.
Shin Hye Rin atau Sae Rin atau nama apa pun yang dipilihnya untuk diri sendiri mungkin orangtua yang buruk, tetapi dia memang memiliki perasaan terhadap anaknya. Pada awalnya Jimin tidak ingin mengakui hal itu, tetapi pada penilaian selanjutnya ia menghargai bahwa setiap pertanyaan yang diajukan wanita itu mengenai masa depan keponakannya didasari kekhawatiran terhadap anak itu. Persetujuan yang layak nyaris dicapai. Bukankah Jimin sudah melihat kekalahan di mata wanita itu dan menerjemahkannya sebagai penerimaan penuh kesedihan bahwa dia bukan ibu yang pantas untuk Min Jae? Tetapi sekarang letak kekuasaan sudah berubah dan Jimin sangat menyadari kenyataan tersebut.
Sae Rin tetap berdiri menunggu di tempatnya ketika salah seorang pengawal menutup pintu depan. Ruang depan itu terlihat sangat sesak karena para pria bertubuh besar yang mengintimidasi itu. Min Jae jelas belum kembali. Ketika ketegangan di udara mulai menyentak kesadarannya, firasat buruk mulai menyerang Sae Rin. Ia berbalik untuk menunjukkan jalan ke ruang duduk, berkata dengan nada datar aneh yang sama sekali tidak terdengar setegas yang diharapkannya, "Kau tahu, Min Jae harus sudah pulang sebelum jam tidurnya yang biasa. Dan omong-omong, biasanya dia tidur jam tujuh."
Sae Rin berbalik untuk menghadap Jimin, matanya yang berwarna cokelat keemasan gelisah, tangannya ditautkan di depan tubuh.
"Aku datang ke sini untuk meminta maaf padamu," gumam Jimin dengan nada terpaksa.
Sae Rin mengerjapkan mata, kerutan terbentuk di antara alisnya. Nada malu itu begitu tak terduga hingga Sae Rin tercengang.
"Tolong duduklah agar aku bisa menjelaskan apa yang terjadi," Jimin melanjutkan. Raut wajah Jimin yang muram dan bibir pucatnya yang terkatup rapat menyatakan bahwa ketegangan yang tadi Sae Rin rasakan bukanlah hanya ada dalam bayangannya.
Min Jae mengalami semacam kecelakaan, pikir Sae Rin ngeri, dan merasa begitu mual dengan gagasan itu hingga kakinya lemas dan terjatuh ke kursi di belakangnya. "Dia tidak mati..." gumamnya mual.
"Tidak. Dia sangat sehat," sela Jimin tegas, kelihatannya mendapat kekuatan dari kemampuan memberikan kepastian itu. "Benar, kau sama sekali tidak perlu mencemaskan kesehatan fisiknya."
"Lalu... lalu kenapa kau meminta maaf padaku?"
Rona gelap samar menghiasi tulang pipi Jimin yang tinggi.
"Pagi ini pada pukul setengah sembilan, si pengasuh, Mi Na, mengantarkan Min Jae kepadaku supaya kami bisa saling mengenal. Proses tersebut sangat berhasil. Dia anak yang sangat ramah," kata Jimin dengan penekanan yang jelas. "Lalu aku keluar untuk menghadiri rapat bisnis dan, ketika aku kembali sore harinya, aku mendapat telepon dari ayahku..."
Sae Rin menggeser posisi duduknya hingga ke ujung kursi. "Ayah... mu? Presdir Park Enterprise?"
"Ya..." jari Jimin yang pendek dan putih mengepal sebelum mengangkat kepala angkuhnya tinggi-tinggi, matanya yang hitam itu muram. "Segera setelah aku meninggalkan apartemen, Mi Na dan orang-orang yang bersamanya membawa Min Jae ke bandara. Dengan menggunakan paspor Korea palsu, mereka membawa anakmu ke dalam pesawat jet pribadi yang menunggu mereka. Dalam waktu satu jam lagi Min Jae akan mendarat di Korea."
Sae Rin menatap Jimin sambil membelalakkan mata dengan sorot bertanya. Jimin sudah membuatnya bingung bahkan sebelum pria itu menjelaskan dan kata-kata seperti "paspor" dan "jet pribadi" tidak bisa masuk ke dalam otaknya. "Min Jae sekarang...?"
"Min Jae sekarang tidak ada di negara ini lagi," kata Jimin singkat.
Tidak ada di negara ini lagi? Kerutan tidak mengerti menghiasi alis Sae Rin sementara ia berjuang memahami pernyataan mengejutkan itu. "Itu tidak mungkin..."
"Hal ini membuatku malu..."
Untuk apa Jimin membicarakan rasa malu? Pria itu pasti memiliki keterlibatan yang sangat besar. Min Jae sudah diculik oleh pengasuh mengerikan itu! Min Jae sudah dirampas, dicuri! Kepala Sae Rin mulai berputar dan perutnya bergolak. Denyut nadinya mengentak pelipis sementara ia berjuang untuk berpikir. Tetapi otaknya seolah-olah diselubungi kabut tebal. Ia tidak bisa mengenyahkan kesadaran menakutkan bahwa Min Jae mungkin tidak akan pulang, bahwa selama ia menunggu dengan begitu penuh kepercayaan bahwa Min Jae akan kembali, anak itu sudah berada di pesawat yang semakin lama membawanya semakin jauh dari Sae Rin.
"Bilang selamat tinggal..." kata Mi Na dengan manis tadi.
Sae Rin bergidik, keringat muncul di bibir atasnya sementara ia memeluk diri sendiri, tiba-tiba merasa begitu kedinginan karena ngeri. Seketika ia merasa seperti anak yang terkejut, tidak bisa membayangkan kekejaman semacam itu. Bajingan macam apa orang-orang ini? Jimin datang ke sini menuntut kepercayaan Sae Rin dan ketika akhirnya Sae Rin memberikannya, meyakini tidak ada gunanya bahkan untuk mencoba mengajukan hak asuh atas anak Hye Rin.
"Kau tidak bisa melakukannya... kau tidak bisa membawanya sepeti itu," Sae Rin menjelaskan dengan suara yang menunjukkan pikirannya sedang menerawang, wajahnya yang kaku tampak benar-benar shock. "Dia bahkan tidak membawa piama. Hal-hal seperti ini harus direncanakan."
Jimin berjalan ke botol anggur yang diletakkan di atas lemari minuman sarat pernak-pernik, mengeluarkan gelas dari lemari, dan menuangkan brendi banyak-banyak. Ini akan membantu Sae Rin melewati kejutan itu, kata Jimin pada diri sendiri. Dengan pelan, Jimin memerintahkan pengawalnya yang berdiri di luar pintu untuk menelepon dokter pribadi. Apa pun yang terjadi, Jimin harus mencoba menahannya sampai wanita itu tenang dan ia memiliki kesempatan untuk menjelaskan, berbohong, dan membujuk wanita itu bahwa perpisahan yang cepat dan rapi merupakan jalan terbaik. Rasa jijik dan frustasi membanjiri dirinya karena pemikiran tersebut. Sae Rin bertanya-tanya kenapa Jimin memaksa tangannya yang kebas mencengkram gelas brendi besar itu. Ia berdiri tanpa sadar. Ia bisa melihat Jimin menumpahkan cairan itu di atas lemari katu. "Aku harus mengelapnya," kata Sae Rin pada pria itu. "Permukaannya bisa rusak."
"Aku minta maaf... aku tidak terbiasa menuang minuman." Jimin memegang tangan Sae Rin yang lain dan mendesaknya memegang gelas dengan dua tangan. Gelas itu bergetar.
***
To Be Continue
YOU ARE READING
The Heirs Wife (Serial Sister Brides Book#1) [Complete] ✅
RomantizmSINOPSIS : Setelah kematian sepupunya, Sae Rin memutuskan menjadi wali asuh Min Jae, anak sepupunya. Bagaimanapun, Sae Rin sangat menyayangi Min Jae dan sudah menjaga anak itu sejak dia lahir. Namun hati Sae Rin hancur ketika Jimin, paman Min Jae...