"Maaf, bolehkah aku meminjam headphone-mu?"
Aku mengernyitkan dahi, menatap sosok yang berdiri di sebelah mejaku dengan gestur kikuk. Kalimatnya, gesturnya, semuanya mengingatkanku pada kejadian delapan tahun yang lalu. Ya, delapan tahun. Ternyata waktu berlalu begitu cepat...
"Noona?"
Aku menggelengkan kepala pelan, menghalau kilasan-kilasan ingatan yang mendadak terasa berjejalan. "Ah, tentu. Tapi tolong jangan lama-lama, ya. Satu jam lagi aku harus pulang," jawabku seraya mengulurkan headphone.
"Terima kasih. Akan kukembalikan sebelum Noona pulang," katanya sopan. Setelah menganggukkan kepala, ia pun beranjak ke meja yang hanya berjarak dua meja dari tempatku.
Kutarik napas dalam-dalam seraya beralih menatap pemandangan di balik kaca. Daun-daun yang berguguran di musim gugur selalu mengingatkanku pada Yoongi. Ah, Yoongi. Mengingatnya membuatku dadaku terasa semakin sesak. Ada terlalu banyak kenangan yang berjejalan, berebutan untuk tampil satu per satu. Dan, dari sekian banyak kenangan, akhirnya pilihan itu jatuh pada salah satu percakapan trivial kami di salah satu kafe di sudut Hongdae...
Jebi Dabang: Sore hampir habis...
"Setelah kau debut nanti..."
"Kita tak akan punya banyak waktu lagi seperti sekarang."
Tentu saja aku tahu tentang hal itu. Sekarang saja kami sudah kesulitan untuk bertemu, apalagi nanti setelah Yoongi debut dengan teman satu grupnya. Jadwal latihan mereka pasti semakin intens, dan tentu saja Yoongi akan semakin kehabisan waktu untuk hal-hal yang bersifat pribadi. Main basket saja dia tak sempat, apalagi mampir ke sini untuk menemaniku membicarakan hal-hal tak jelas.
"Sepertinya aku harus membeli beberapa album kalian supaya nanti kita bisa mengobrol sedikit lebih lama saat fansign," selorohku, berusaha terdengar sewajar mungkin.
"Kalau kau nanti butuh uang, bilang saja. Siapa tahu royaltiku cukup untuk mengganti biaya beberapa album yang kau beli. Aku tak mau kau kelaparan gara-gara membeli album kami."
Siapa pun yang mengenal Yoongi dengan baik akan tahu bahwa senyum yang sekarang mengembang di wajahnya bukanlah senyum yang tulus, jenis senyum formalitas. Ketika Yoongi benar-benar tersenyum, matanya pun ikut tersenyum hingga hanya menyisakan garis, tidak seperti sekarang yang terbuka lebar begitu. Ah, smiley eyes itu. Akankah aku bisa melihatnya dengan leluasa seperti dulu?
"Kau tak perlu cemas. Setidaknya aku masih bisa makan dengan layak. Ibuku rutin mengirimkan kimchi, jadi aku tak mungkin hanya makan dengan nasi dan gochujang."
Mata Yoongi menyipit, "Hei, kau meledekku, ya?"
"Tidak, aku hanya membicarakan seorang teman. Sepertinya kau tak mengenalnya."
"Benarkah? Coba kau beri tahu aku siapa namanya. Siapa tahu aku kenal."
"Kau benar-benar ingin tahu?"
Yoongi menganggukkan kepala dengan wajah yang tampak serius.
"Marganya Min. Namaya..., ah, ya, marga kalian sama. Mungkin kalian memang saling kenal."
"Jangan bilang namanya Yoongi?"
"Hei, bagaimana kau bisa tahu? Kalian benar-benar saling kenal rupanya." Aku pura-pura terkejut sebelum akhirnya ikut terkikik bersama Yoongi.
Ya, seperti itulah kami ketika sedang ingin menghindari hal-hal serius yang rawan membuat murung. Alih-alih semakin larut dalam obrolan yang kelam, kami akan beranjak pada pecakapan tak jelas sambil mengolok masa lalu, menertawakan sesuatu yang sisi lucunya mungkin hanya bisa dimengerti oleh kami berdua.
"Aku pasti akan merindukan percakapan tak tentu arah seperti ini," kata Yoongi setelah kami berhenti terkikik. Mata cokelat gelapnya tampak sendu.
Demi Tuhan, aku ingin memeluk Yoongi erat-erat. Di balik punggungnya yang terkesan dingin, Yoongi menyimpan dirinya yang rapuh. Ia menyimpan dengan rapi masa-masa terberatnya yang sanggup membuat siapa saja menangis jika mengetahuinya.
"Chaerin-ah, kau tak ingin memelukku?" tanyanya.
Tanpa perlu berpikir dua kali, aku langsung menggeser kursiku dan melangkah untuk memeluk Yoongi dari belakang. Pipiku bertumpu pada rambut hitam Yoongi. Air mataku pun jatuh seketika. Semuanya membaur jadi satu. Aku terharu sekaligus bangga karena Yoongi semakin dekat dengan mimpinya. Sekarang hanya menyisakan hitungan hari sebelum ia memulai debutnya. Aku bahagia karena perjuangannya akhirnya tak sia-sia. Meski itu berarti aku tak akan bisa menjangkau Yoongi dengan mudah lagi...
Sejong Library: Malam beranjak tua...
"Terima kasih sudah mau meminjamkan headphone-mu, Noona."
Kalimat itu kembali menyadarkanku, menarikku ke ruang dan waktu yang seharusnya kujejak. "Oh, tentu," kataku akhirnya.
"Semoga akhir pekanmu menyenangkan, Noona," lanjutnya sambil tersenyum.
"Kau juga," balasku sebelum ia berlalu.
Kutatap lekat-lekat headphone di tanganku. Entah sudah berapa kali aku menarik napas dalam-dalam, berharap dengan begitu bisa mengusir rasa sesak yang menghimpit dadaku. Namun, tetap tak ada hasilnya. Kembali kutatap jendela perpustakaan yang berupa kaca berukuran besar. Hari sudah gelap, hanya menyisakan lampu jalan, membuatku tak lagi bisa melihat daun maple di luar sana dengan jelas. Sekian detik berikutnya kupasang headphone, kubuka pemutar musik di ponselku, lalu mengalunlah lagu yang menemaniku setiap hari sejak lagu itu resmi diluncurkan.
Kali ini air mataku tak bisa lagi kutahan...
"Aku baru saja selesai menulis lagu. Kau pasti menyukainya."
"Coba, sini, aku ingin dengar."
"Tidak sekarang. Suatu saat nanti. Begitu mendengarnya, kau pasti tahu kalau lagu itu kutulis untukmu..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Yourself: Autumn Leaves
FanfictionOver there, the autumn leaves that look like they're at stake, seem like they're looking at us. If our hands touch, even if it's all at once, it only seems like it's going to be crumbs... --Min Yoongi-- *** 365 puzzle berserakan. Tak selamanya yang...